Thursday 2 April 2015

Makalah Gadai (ar-rahn)



Makalah Fiqh Muamalah
Gadai (rahn)

Disusun Oleh                         : Kelompok 5
Nama                                      : Saiful Maulana
Semester / Unit                      : IV / 2


Fakultas Syari'ah Jurusan Muamalah
Institut Agama Islam Negeri
Zawiyah Cot Kala Langsa
2015


Bab I
Pendahuluan
Islam sebagai agam yang universal, mengatur seluruh kegiatan manusia. Dalam kehidupan perekonomian, Islam bahkan mengaturnya dengan sebuah sistem yang sekarang disebut dengan sistem ekonmi syari'ah. Dalam sistem ekonomi syari'ah, setiap akad yang terbentuk seperti jual beli, sewa, mudharabah, hawalah, wakalah, harus selaras dengan hukum Islam. Sebagaimana yang dipelajari dalam ilmu ushul fiqh bahwa hukum dasar dalam mu’amalah adalah mubah, maka setiap kegiatan muamalah boleh dilakukan dan dikembangkan umat Islam, selama tidak ada pelarangan tentang hal itu, seperti munculnya praktik riba, atau gharar.
Sebagaimana setiap akad yang harus memenuhi rukun dan syaratnya masing-masing,  akad rahn (gadai) juga harus memenuhi syarat yang telah ditetapkan dalam syari'ah Islam. Gadai dalam Islam bertujuan untuk memberikan keamanan bagi pemberi hutang agar ia dapat tenang dan tak khawatir bahwa hutangnya tidak akan dilunasi. Akan tetapi sikap saling percaya dan amanah bagi kedua pihak yang berakad itu lebih penting agar terbentuk ukhuwah Islamiyyah yang terjaga kokoh dalam tubuh umat Islam.
Berikut ini akan dijelaskan mengenai seluk beluk akad rahn, mulai dari pengertian, syarat dan rukunnya, manfaatnya, hukum-hukum yang ditimbulkannya, sampai hal-hal yang mengakhiri akad rahn.





Bab II
Pembahasan
1.      Pengertian dan Dasar Hukum
Transaksi hukum gadai dalam fikih Islam disebut ar-rahn. Ar-rahn adalah suatu jenis perjanjian untuk menahan suatu barang sebagai tanggungan hutang. Pengertian ar-rahn dalam bahasa Arab adalah ats-tsubut wa ad-dawam yang berarti tetap dan kekal. Pengertian tetap dan kekal yang dimaksud merupakan makna yang tercakup dalam kata al-habsu yang berarti menahan. Kata ini merupakan makna yang bersifat materiil. Karena itu secara bahasa kata ar-rahn  berarti “menjadikan suatu barang yang bersifat materi sebagai pengikat uang”.[1]
Adapun menurut pengertian syara’ adalah : menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan hutang, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil hutang atau ia bisa mengambil sebagian (manfaat) barang itu.[2]
Ulama Syafi’iyyah mendefinisikan akad ar-rahn seperti berikut : menjadikan barang sebagai jaminan utang yang barang itu digunakan untuk membayar utang tersebut ketika pihak yang berutang tidak bisa membayar utang tersebut. Ulama Hanabilah mendefinisikan ar-rahn seperti berikut : harta yang dijadikan sebagai jaminan utang ketika pihak yang menanggung utang tidak bisa melunasinya, maka utang tersebut dibayar dengan menggunakan harga hasil penjualan harta yang dijadikan jaminan tersebut. Ulama Malikiyah mendefinisikannya sebagai berikut : sesuatu yang berbentuk harta dan mempunyai nilai yang diambil dari pemiliknya untuk dijadikan jaminan utang yang keberadaannya sudah positif dan mengikat.[3]
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1150, gadai adalah suatu hak yang diperoleh seseorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak, yaitu barang bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh orang yang mempunyai utang atau orang lain atas nama orang yang mempunyai utang. Karena itu barang gadaian dalam hukum perundangan disebut sebagai barang jaminan, atau agunan atau rungguhan.[4]
Kesemua pengertian yang tersebut diatas pada intinya sama, akan tetapi ada beberapa perbedaan yang disebabkan oleh syarat-syarat akad ar-rahn yang berbeda yang dipahami oleh masing-masing definitor yang pada subbab selanjutnya akan dibahas perbedaan pendapat tersebut.
Adapun dasar hukum disyariatkannya akad gadai dalam Islam didasari dari Al-Quran surah Al-Baqarah : 283,


Artinya : Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)....

Ulama sepakat bahwa ar-rahn hukumnya boleh, baik ketika berada dalam perjalan maupun ketika menetap. Karena sunnah menjelaskan tentang pensyariatan ar-rahn secara mutlak, baik ketika sedang di tengah perjalanan maupun ketika sedang menetap. Penyebutan as-safar pada ayat di atas hanya berdasarkan kebiasaan yang lumrah berlaku saja, bukan merupakan syarat. Karena pada masa dahulu, biasanya di tengah perjalan, sulit untuk menemukan juru tulis.[5]

Adapun dalil dari hadits yaitu[6] :

عَنْ اَنَسٍ قَالَ : رَهَنَ رَسُوْلُ اللهِ دِرْعًا لَهُ عِنْدَ يَهُوْدِيٍّ بِالْمَدِيْنَةِ وَ اَخَذَ مِنْهُ شَعِيْرًا لِاَهْلِهِ (رواه اهمد دو البخاري و النسائي و ابن ماجه)

Artinya : Dari Anas, ia berkat, Nabi SAW pernah menggadaian sebuah baju besi kepada seorang Yahudi di Madinah dan Nnabi SAW mengambil gandum dari si Yahudi itu untuk keluarganya. (HR. Ahmad, Bukhari, Nasa’i dan Ibnu Majah).

Dari dalil-dalil yang didapatkan, ulama sepakat hukum ar-rahn adalah boleh (jaiz), tidak wajib. Karena ar-rahn adalah jaminan utang, oleh karena itu tidak wajib. Adapun bunyi ayat farihaanum maqbuudhah (maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang), perintah tersebut bersifat irsyad ( pengarahan kepada yang lebih baik) bagi kaum mukminin, bukan perintah yang wajib. Hal ini berdasarkan bunyi ayat setelahnya yang artinya akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya). Juga karena di dalam ayat ini Allah memerintahkan adanya ar-rahn ketika tidak menemukan seorang juru tulis. Karena menuliskan dan mendokumntasikan utang hukumya tidak wajib, maka begitu juga solusi pengganti penulisan, hukumnya juga tidak wajib.[7]

Rahn dalam syariat memiliki beberapa manfaat, yaitu[8] :
-          Menjaga kemungkinan rahin untuk lalai atau bermain-main dengan hutangnya
-          Memberikan kemanan bagi murtahin.

2.      Rukun dan Syarat
Sebagaimana akad jual beli memiliki rukun dan syarat, maka ar-rahn juga memiliki rukun dan syarat yang harus dipenuhi agar akad ar-rahn sah dan mengikat bagi pihak-pihak yang melakukan akad. Adapun rukun ar-rahn yaitu :
a.       Rahin (pihak yang menggadai)
b.      Murtahin (pihak yang menerima gadai)
c.       Marhun (barang yang digadaikan)
d.      Marhun bih (tanggungan utang)

Sedangkan menurut ulama Hanafiyyah, rukun ar-rahn adalah ijab dari rahin dan qabul dari murtahin, tetapi akad ar-rahn belum sempurna dan belum berlaku mengikat kecuali setelah adanya al-qabdhu (serah terima barang yang digadaikan).

Adapun syarat-syarat akad rahn sebagai berikut[9] :

a.      Syarat ‘aqid (rahin dan murtahin)
Pihak yang berakad mestilah memenuhi syarat agar akad rahn yang dilakukan berlaku sah dan mengikat, adapun syaratnya yaitu ahliyah yakni memiliki kelayakan, kepatutan dan kompetensi untuk melakukan akad. Para pihak harus berakal dan mumayyiz. Namun tidak syaratkan baligh, selama ia mumayyiz. Jadi anak yang belum baligh sah melakukan akad rahn, namun statusnya digantungkan kepada persetujuan dan pengesahan pihak wali. Pendapat ini menurut ulama Hanafiyyah. Adapun menurut Jumhur ulama akad rahn tidak sah  dilakukan oleh orang yang berada dalam keadaan terpaksa, anak yang belum baligh, orang gila, dan orang bangkrut. Akad rahn juga tdak sah dilakukan oleh pihak wali, kecuali ada alasan kondisi darurat demi kebaikan si anak yang berada dalam perwalian.

b.      Syarat marhun bih
Marhun bih adalah tanggungan utang pihak rahin kepada pihak marhun. Syarat-syaratnya yaitu :
-          Marhun bih harus merupakan hak yang wajib diserahkan kepada pemiliknya, maksudnya marhun bih harus berupa utang yang ditanggung yang wajib dibayar dan diserahkan oleh rahin
-          Marhun bih harus berupa utang yang dimungkinkan untuk dibayar dan dipenuhi dari marhun, karena tujuan menerima gadai adalah untuk mendapatkan jaminan pembayaran utang. Oleh karena itu jika marhun tidak mampu mengganti pembayaran utang, maka akad rahn tidak sah.
-          Hak yang menjadi marhun bih  harus diketahui dengan jelas dan pasti .

c.       Syarat marhun
Marhun adalah harta yang ditahan oleh pihak murtahin untuk mendapatkan pemenuhan atau pembayaran haknya yang menjadi marhun bih. Jika marhun sama jenisnya dengan marhun bih, maka pelunasan utang dapat langsung diambil dari marhun. Jika berbeda jenis maka pelunasan dilakukan dengan menjual marhun terlebih dahulu untuk diambil harganya dan mengembalikan kelebihan harga itu (jika ada) kepada rahin.

Menurut ulama Hanafiyyah, marhun harus memenuhi syarat sebagai berikut :
-          Marhun telah ada saat akad berlangsung, maka tidak ah menggadaikan sesuatu yang tidak ada ketika akad, seperti menggadaikan buah yang akan dihasilkan oleh pohonnya tahun ini, karena belum tentu pohon itu akan berbuah.
-          Marhun harus bisa dijual dan bernilai.
-          Marhun harus berupa harta, maka tidak sah menggadai bangkai.
-          Marhun tidak boleh berupa kemanfaatan, contohny tidak sah menggadai kemanfaatan menempati rumah dalam tempo tertentu. Karena menurut ulama Hanafiyyah kemanfaatan bukanlah harta, dan selain ulama Hanafiyyah beralasan karena kemanfaatan tidak bisa diserhterimakan pada waktu akad dan tidak memiliki sifat yang pasti dan tetap.
-          Marhun harus diketahui dengan jelas dan pasti
-          Marhun harus berstatus milik rahin atau milik orang yang berada dalam perwalian rahin atau telah mendapat izin dari pemiliknya untuk digadaikan oleh rahin. Maka, sah seorang ayah menggadaikan harta anak yang berada dalam perwaliannya. Begitu juga, sah menggadaikan harta orang lain atas izin pemilik harta tersebut.
-          Marhun harus mufarragh dan muhawwaz, maksudnya barang yang digadaikan tidak melekat dengan barang yang tidak digadaikan. Contohnya, tidak sah menggadai sebidang tanah saja tanpa mengikutsertakan tanamannya.


Qabdhu (serah terima marhun)
Selain syarat-syarat yang harus dipenuhi pada rukun-rukunnya, akad rahn juga mempunyai syarat lain yaitu Qabdhu, penyerahterimaan marhun kepada murtahin. Hal ini didasari oleh bunyi ayat yang artinya maka hendaklah ada berang tanggungan yang dipegang oleh yang berpiutang (Al-Baqarah : 283). Qabdhu disyaratkan ada untuk menerapkan tujuan dari gadai itu sendiri yaitu untuk memberikan jaminan pada murtahin dan kepastian bahwa hutang yang diberikannya pada rahin akan dibayar.
Jumhur ulama berpendapat bahwa qabdhu bukanlah syarat sah akad rahn, akan tetapi syarat berlaku mengikatnya akad rahn. Oleh karena itu akad rahn belum mengikat kecuali setelah adanya qabdhu, maka sebelum adanya qabdhu rahin masih memiliki kebebasan unutk membatalkan akad secara sepihak. Namun setelah adanya qabdhu, akad telah saling mengikat pihak, sehingga pihak yang berakad tidak boleh membatalkan akad secara sepihak.

Qabdhu baru dianggap sah jika memenuhi syarat sebagai berikut :
-          Qabdhu harus atas izin dari pihak rahin,
-          Ketika dilakukan qabdhu, kedua pihak harus memiliki ahliyah.

Qabdhu tidak mesti dilakukan oleh rahin atau murtahin, melainkan boleh juga dilakukan oleh wakilnya. Kedua belah pihak (rahin dan murtahin) juga boleh melakukan kesepakatan untuk menitipkan marhun  kepada pihak ketiga yang disebut ‘adl karena mungkin rahin  tidak suka jika marhun berada di tangan murtahin, dan terkadang murtahin sendiri tidak suka marhun berada di tangannya. ‘Adl  adalah pihak ketiga yang dipercaya oleh kedua belah pihak, maka dari itu dia harus memenuhi syarat sebagai ’adl , yaitu mumayyiz, berakal, tidak boros, dan dia bukan merupakan seorang yang memiliki bagian harta dari marhun tersebut.

3.      Hukum-Hukum Gadai dan Efeknya
Akad rahn ada yang  sah dan ada yang tidak sah. Akad rahn yang sah adalah akad yang memenuhi syarat-syarat akad rahn, sedangkan akad yang tidak sah adalah akad yang tidak terpenuhi syaratnya. Menurut Hanafiyyah, akad yang tidak sah terbagi menjadi akad baathil (batal) dan akad fasid (rusak).
Akad yang batal yaitu yang tidak memenuhi salah satu syarat yang berkaitan dengan asal akad, seperti pihak yang mengadakan akad tidak memiliki ahliyah. Akad yang fasid yaitu akad ang tidak memenuhi salah satu syarat yang berkaitan dengan sifat akad, seperti marhun tidak mufarragh dan muhawwaz. Sedangkan menurut jumhur, akad yang tidak sah hanya satu yaitu akad batal, kad yang tidak terpenuhi syaratnya.

a.      Hukum akad rahn yang sah
Berlaku mengikatnya akad rahn adalah hanya sepihak, yaitu hanya bagi rahin saja, bukan bagi murtahin. Oleh karena itu rahin tidak memiliki hak unutk membatalkan akad, karena akad rahn adalah jaminan utang. Adapun murtahin, maka ia memiliki hal untuk membatalkannya kapan saja karen akad rahn dalah unutk kemashlahatan dan kepentingan dirinya. Akad rahn belum memiliki konsekuensi apa-apa kecuali dengan adanya qabdhu. Oleh karena itu harga barang yang digadaikan belum bisa hanya diperuntukkan bagi murtahin saja atau dengan kata lain blum memiliki hak priorotas terhadap harga barang yang digadaikan itu sebelum tejadi qabdhu.
Setelah terjadinya akad rahn yang sah, maka akan timbul efek-efek hukum yang terikat bagi kedua pihak, seperti berikut ;
-          Marhun terikat dengan hutang yang ada. Jika barang yang digadaikan sebagai jaminan hutang, maka seluruh bagian dan satuan dari barang itu terikat dengan hutang tersebut. Marhun tidak terikat dengan hutang yang tidak dilalui dengan akad rahn, ia hanya terikat dengan sejumlah utang yang dilalui dengan akad rahn.
-          Murtahin berhak untuk menahan marhun, akan tetapi tidak berhak untuk memilikinya. Murtahin hanya berhak terhadap harga barang itu sebanyak nilai hutang yang diberikannya, jika rahin tidak mampu untuk membayar hutangnya.
-          Ulama Hanafiyyah tidak memperbolehkan pihak rahin meminta kembali marhun untuk dimanfaatkan. Akan tetapi ulama Syafi’iyyah memperbolehkan hal tersebut.
-          Menurut ulama Hanafiyyah, murtahin wajib menjaga marhun seperti menjaga hartanya sendiri. Jika marhun  rusak maka, murtahin bertanggung jawab atas kerusakan tersenut.
-          Manfaat yang dihasilkan dari marhun  adalah unutk rahin.
-          Menurut Jumhur, seluruh biaya pengurusan dan penjagaan marhun dibebankan pada rahin. Ulama Hanafiyyah berpendapat bahwa biaya penjagaan dibebankan pada murtahin sedangkan biaya pengurusan dibebankan pada rahin.
-          Ulama Syafi’iyyah berpendapat marhun boleh dimanfaatkan oleh rahin selama tidak merugikan murtahin. Jumhur berpendapat rahin sama sekali tidak boleh memanfaatkan marhun.

b.      Hukum akad rahn yang tidak sah
Para imam mazhab sepakat bahwa akad rahn yang batal tidak memiliki efek hukum apa-apa. Oeh karena itu murtahin  tidak memiliki hak menahan dan rahin berhak meminta kembali marhun dari tangan murtahin. Apabila murtahin tidak menyerahkan atau merusak marhuun tanpa menggantiya maka ia dianggap menguasai harta orang lain secara zalim. Penahanan murtahin terhadap marhun dihukumkan sebagai harta amanat bukan sebagai barang gadaian.

4.      Pertambahan Gadai
Menambah marhun atau marhun bih dalam akad rahn dijelaskan dseperti berikut.
Menambah marhun adalah memberikan lagi barang gadaian disamping barang gadaian yang ada dengan utang yang sama. Hal ini hukumnya bolleh menurut Jumhur Ulama, karena itu merupakan bentuk tambahan penguat jaminan yang merupakan tujuan inti dari akad rahn.
Sedangkan tambahan utang  atas marhun yang sama, maksudnya rahin meminjam utang lagi dengan barang gadai yang sama, terdapat perbedaan pendapat tentang kebolehannya : Imam Hanafi dan Ulama Hanabilah berpendapat hal tersebut tidak diperbolehkan, karena tambahan seperti itu merupakan akad rahn baru, yang berarti menggadaikan lagi barang sudah digadaikan. Sementara itu Imam Malik, Abu Yusuf, Abu Tsur berpendapat hal itu boleh. Karena tambahan dalam marhun bih berarti menghapus akad rahn yang lama dan mengadakan akad rahn yang baru dengan jumlah marhun bih yang baru juga.

5.      Berakhirnya Akad Gadai
Akad rahn selesai dan berakhir karena beberapa hal, diantaranya :
a.       Diserahkannya marhun kepada pemiliknya. Menurut jumhur selain Syafi’iyyah, jika marhun diserahkan kepada pemiliknya maka jaminan penguat utang akan hilang sehingga akad rahn menjadi batal.
b.      Terlunasinya seluruh marhun bih.
c.       Penjualan marhun secara paksa yang dilakukan oleh rahin atas perintah hakim, atau yang dilakukn oleh hakim ketika rahin menolak menjual marhun. Apabila marhun dijual dan utang terlunasi dengan harga penjualan itu,maka akad rahn telah selesai.
d.      Terbebasnya rahin dari utang yang ada wlau dengan cara apapun.
e.       Binasanya marhun
f.       Marhun ditasharufkan oleh salah satu pihak seperti meminjamkannya, menjualnya atau menyedekahkannya.

 


 
Bab III
Penutup
Kesimpulan
Dari penjelasan di atas secara global, dapat dirangkum sebagai berikut :
Rahn adalah menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan hutang, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil hutang atau ia bisa mengambil sebagian (manfaat) barang itu.
Rukun akad rahn yaitu :
a.       Rahin (pihak yang menggadai)
b.      Murtahin (pihak yang menerima gadai)
c.       Marhun (barang yang digadaikan)
d.      Marhun bih (tanggungan utang).

Akad rahn terbagi dua yaitu :
a.       Akad rahn yang sah, yakni akad rahn yang terpenuhi seluruh rukun dan syaratnya
b.      Akad rahn yang tidak sah yaitu akad rahn yang tidak terpenuhi seluruh syaratnya.






Daftar Pustaka

Ali,  Zainuddin, Hukum Gadai Syari'ah, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008).
Antonio,  Muhammad Syafi’i , Bank Syari'ah, (Jakarta : Gema Insani, 2001).
Az-Zuhaili , Wahbah, Fikih Islam, (Jakarta : Gema Insani, 2011).
Faishal bin Abdul Aziz, Nailul Authar, (Surabaya : PT Bina Ilmu, 2000).
Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah, (Bandung : PT. Alma’arif, 1987).


[1] Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syari'ah, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008). Halaman 1.
[2] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Bandung : PT. Alma’arif, 1987). Halaman 150.
[3] Wahbah Az-Zuhaili, Fikih Islam, (Jakarta : Gema Insani, 2011). Halaman 107.
[4] Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syari'ah,... Halaman 2.
[5] Wahbah Az-Zuhaili, Fikih Islam,... Halaman 108.
[6] Faishal bin Abdul Aziz, Nailul Authar, (Surabaya : PT Bina Ilmu, 2000). Halaman 1771.
[7] Wahbah Az-Zuhaili, Fikih Islam,... Halaman 111.
[8] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari'ah, (Jakarta : Gema Insani, 2001). Halaman 129.
[9] Wahbah Az-Zuhaili, Fikih Islam,... Halaman 112-138.