Thursday 26 March 2015

Hadits Tentang Mandi Wajib



Hadits-Hadits Mandi Wajib

Nama                          : Saiful Maulana
Semester / Unit          : IV / 2
Dosen                          : H. Muhammad Zukhdi Lc. MA




Fakultas Syari'ah Jurusan Muamalah
Institut Agama Islam Negeri
Zawiyah Cot Kala Langsa


Kata Pengantar
Alhamdulilahirabbil’alamin,
Puja dan puji saya ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan nikmat terbesarnya kepada saya berupa iman dan kesehatan sehingga saya masih berkesempatan membuat tugas yang diberikan oleh Bapak Dosen. Shalawat dan salam saya sampaikan kepada Rasulullah SAW yang telah mengorbankan jiwa dan raganya demi menegakkan agama Islam di muka bumi yang dirahmati Allah SWT.
Tujuan dari pembuatan makalah yang berjudul Hadits-hadits Mandi Wajib ini adalah untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh dosen untuk dijadikan bahan perkuliahan dalam presentasi. Saya mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada teman-teman yang sudah membantu dalam penyelesaian makalah ini. Saya berharap semoga makalah ini dapat menjadi sumber bacaan yang berkualitas dan membantu teman-teman dalam memahami hadits-hadits tentang mandi wajib.
Demikianlah makalah ini dibuat dengan semestinya.
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

                                                                                                          Penulis

                                                                                                 (.......................... )




BAB I
Pembahasan
1.      Hadits Tentang Yang Mewajibkan Mandi Wajib

وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم يَغْتَسِلُ مِنْ أَرْبَعٍ : مِنَ الْجَنَابَةِ وَيَوْمَ الْجُمُعَةِ وَمِنَ الْحِجَامَةِ وَمِنْ غُسْلِ اَلْمَيِّتِ . (رواه أبو داود وصحّحه ابن خزيمة)

Artinya : 'Aisyah ra. berkata : Rasulullah SAW biasanya mandi karena empat hal : jinabat, hari Jum'at, berbekam dan memandikan mayit. (HR. Abu Dawud dan dinyatakan shahih oleh Ibnu Khuzaimah).

Penjelasan Hadits
Hadits tersebut menyebutkan kebiasaan Nabi yang mandi pada empat waktu, akan tetapi hal yang mewajibkan mandi pada hadits ini hanyalah karena jinabat. Adapun hal-hal lain yang diwajibkan untuk mandi adalah :
a.    Keluarnya mani dengan syahwat. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa mandi diwajibkan hanya jika keluarnya mani secara memancar dan terasa nikmat ketika mani itu keluar. Jadi jika keluarnya karena kedinginan atau sakit, tidak ada kewajiban mandi.
b.    Jika bangun tidur dan mendapati keluarnya mani. Ulama berpendapat bahwa selama kita bangun dan mendapati adanya mani, maka kita wajib mandi, walaupun kita tidak sadar atau lupa telah mimpi basah  atau tidak.
c.    Setelah bertemunya dua kemaluan walaupun tidak keluar mani.
d.   Setelah berhentinya darah haid atau nifas.
e.    Orang kafir yang masuk islam.
f.     Ketika seorang muslim meninggal dunia. Mayat muslim wajib dimandikan kecuali jika ia meninggal karena gugur di medan perang ketika berhadapan dengan orang kafir.
g.    Ketika bayi meninggal karena keguguran dan sudah memiliki ruh.

2.      Hadits Tentang Rukun Mandi Wajib

وَعَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ : قُلْتُ : يَا رَسُولَ اَللَّهِ إِنِّي اِمْرَأَةٌ أَشُدُّ شَعْرَ رَأْسِي أَفَأَنْقُضُهُ لِغُسْلِ اَلْجَنَابَةِ ؟ فَقَالَ: لَا إِنَّمَا يَكْفِيكِ أَنْ تَحْثِي عَلَى رَأْسِكِ ثَلَاثَ حَثَيَاتٍ . (رواه مسلم(

Artinya : Ummu Salamah ra. berkata: Aku bertanya wahai Rasulullah sungguh aku ini wanita yang mengikat rambut kepalaku. Apakah aku harus membukanya untuk mandi jinabat ?, Nabi menjawab: "Tidak, tapi kamu cukup mengguyur air di atas kepalamu tiga kali." (HR. Muslim)

Penjelasan Hadits
Hadits ini merupakan hadits yang menekankan bahwa yang menjadi rukun mandi wajib hanyalah megalirkan air keseluruh tubuh (selain niat). Dengan seseorang memenuhi rukun mandi ini, maka mandinya dianggap sah, asalkan disertai niat untuk mandi wajib. Jadi seseorang yang mandi di pancuran atau shower dan air mengenai seluruh tubuhnya, maka mandinya sudah dianggap sah.
Adapun berkumur-kumur, memasukkan air dalam hidung dan menggosok-gosok badan adalah perkara yang disunnahkan menurut mayoritas ulama.
Oleh karena itu para ulama mengatakan, sebagai permisalan, jika orang yang junub membaca basmalah, lalu masuk ke dalam kolam air dengan niat mandi junub, menggosok-gosokkan kepalanya, hingga basah seluruh tubuhnya, lalu dia keluar dari kolam, maka hal tersebut sudah sah dikatakan mandi junub, meskipun dia tidak berwudhu.
Demikian hal tersebut ialah syarat minimal sahnya mandi junub. Adapun apabila mandi dengan diawali wudhu maka itu lebih afdhal (utama), karena hal tersebut yang senantiasa dilakukan oleh Rasulullah SAW. Berwudhu itu hukumnya sunnah, karena perbuatan Nabi hukum asalnya sunnah, tidak menunjukkan kewajiban. Akan tetapi kita diperintahkan oleh Allah SWT untuk mencontoh Nabi SAW.

3.      Hadits Tentang Tata Cara Mandi Wajib

وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا اِغْتَسَلَ مِنَ الْجَنَابَةِ يَبْدَأُ فَيَغْسِلُ يَدَيْهِ ثُمَّ يُفْرِغُ بِيَمِيْنِهِ عَلَى شِمَالِهِ فَيَغْسِلُ فَرْجَهُ ثُمَّ يَتَوَضَّأُ ثُمَّ يَأْخُذُ اَلْمَاءَ فَيُدْخِلُ أَصَابِعَهُ فِي أُصُولِ الشَّعْرِ ثُمَّ حَفَنَ عَلَى رَأْسِهِ ثَلَاثَ حَفَنَاتٍ ثُمَّ أَفَاضَ عَلَى سَائِرِ جَسَدِهِ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ. (متفق عليه واللفظ لمسلم)

Artinya : 'Aisyah ra. berkata : Biasanya Rasulullah SAW jika mandi karena jinabat akan mulai dengan membersihkan kedua tangannya kemudian menumpahkan air dari tangan kanan ke tangan kiri lalu mencuci kemaluannya kemudian berwudlu lalu mengambil air kemudian memasukkan jari-jarinya ke pangkal-pangkal rambut lalu menyiram kepalanya tiga genggam air kemudian mengguyur seluruh tubuhnya dan mencuci kedua kakinya. (HR. Muttafaq Alaihi dan lafadznya dari Muslim.) 

Penjelasan Hadits
Dalam hadits di atas terdapat kata kana (كان), yang dalam bahasa Arab bisa saja memiliki dua arti atau dua maksud :
a.                   Kana yang berarti perbuatan masa lampau, maksudnya adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mandi junub seperti yang dijelaskan dalam hadits.
b.                   Kana yang berarti perbuatan yang berulang-ulang/berkesinambungan, maksudnya adalah Rasulullah senantiasa mandi junub (setelah jima’ dengan istrinya) seperti yang dijelaskan dalam hadits.
Dan pendapat yang kuat menurut para ulama ialah maksud yang kedua, yaitu kana yang berarti senantiasa, didukung juga dengan kata idza (yang juga bermakna senantiasa pada kalimat idzaghtasala). Jadi, Rasulullah SAW senantiasa mandi junub (setelah jima’ dengan istrinya) seperti yang dijelaskan dalam hadits.
Dari hadits diatas dapat disimpulkan bahwa tata cara mandi wajib adalah sebagai berikut :
1.    Mencuci kedua telapak tangan.
2.    Menuangkan air dengan tangan kanannya keatas tangan kirinya lalu mencuci kemaluannya.
3.    Kemudian berwudhu dengan wudhu yang sempurna sebagaimana berwudhu untuk sholat.
Asy Syaukani rahimahullah mengatakan : “Adapun mendahulukan mencuci anggota wudhu ketika mandi itu tidaklah wajib. Cukup dengan seseorang mengguyur badan ke seluruh badan tanpa didahului dengan berwudhu, maka itu sudah disebut mandi.”
4.    Kemudian memasukkan kedua tangan kedalam bejana, kemudian menciduk air dari satu cidukan dengan kedua tangan tadi, kemudian menuangkan air tadi diatas kepala. Kemudian memasukkan jari-jari diantara bagian-bagian rambut dan menyela-nyelainya sampai ke dasar rambut di kepala.
5.    Kemudian menyiram kepala tiga kali dengan tiga kali cidukan.
6.    Kemudian menyiram air ke semua bagian tubuh.
7.    Mencuci kedua kaki
  


Bab II
Penutup
Simpulan
Mandi wajib adalah mandi yang diwajibkan unutk menghilangkn hadats besar.
Berdasarkan dalil-dalil yang didapatkan dari Al-Quran dan Hadits dapatlah ditarik kesimpulan bahwa mandi wajib diwajibkan bagi orang yang jinabat, orang yang baru masuk Islam, wanita yang selesai haid dan lain lain sebagaimana yang tertera di atas.
Adapun rukun mandi wajib yaitu :
1.      Niat
2.      Mengalirkan air ke seluruh tubuh
Adapula beberapa hal yang disunnahkan dalam mandi wajib, diantaranya :
1.      Mencuci kedua tangan sebelum mandi
2.      Berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat
3.      Berkumur-kumur
4.      Memasukkan air ke hidung
5.      Memulai bagian kanan dari yang kiri


Hadits Tentang Tayammum



Hadits Ahkam
Tayammum

Nama                          : Saiful Maulana
Semester / Unit          : IV / 2
Dosen                         : H. Muhammad Zukhdi Lc. MA




Fakultas Syari'ah Jurusan Muamalah
Institut Agama Islam Negeri
Zawiyah Cot Kala Langsa
2014/2015


Kata Pengantar
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Alhamdulilahirabbil’alamin,
Segala puji bagi Allah SWT yang masih memberikan saya nikmatnya sehingga saya mampu membuat makalah ini sebagai pemenuhan tugas kuliah dan pembelajaran.
Shalawat dan salam saya haturkan kepangkuan Nabi Muhammad SAW yang telah berjuang menegakkan kalimat Laa Ilaaha Illallah sehingga kita semua dapat merasakan nikmatnya iman dan taqwa.
Makalah ini saya buat demi pemenuhan tugas kuliah dan berharap mendapatkan pelajaran agar dapat dipraktikkan dalam kehidupan nyata. Adapun judul makalah ini yaitu Tayammum yang berisi hadits-hadits yang menyangkut dengan rukun, syarat dan hal-hal yang membatalkan tayammum. Terimakasih pula saya ucapkan kepada seluruh pihak yang membantu saya dalam peyelesaian dan memahami tentang materi ini.
Demikianlah makalah ini saya buat dan berharap mendapatkan nila yang memuaskan.
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
                                                                                                   Penulis

                                                                                            ( Saiful Maulana )



BAB I
Pembahasan
1.      Hadits Tentang Syarat-Syarat Tayammum

عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ قَالَ : كُنَّا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فِي سَفَرٍ فَصَلَّى بِالنَّاسِ فَاِذَا هُوَ بِرَجُلٍ مُعْتَزِلٍ فَقَالَ : مَا مَنَعَكَ اَنْ تُصَلِّى ؟ قَالَ : اَصَابَتْنِى جَنَابَةٌ وَ لَا مَاءَ . قَالَ : عَلَيْكَ بِالصَّعِيْدِ فَاِنَّهُ يَكْفِيْكَ . (رواه اهمد و البخارى و المسلم)

Artinya : Dari ‘Imran ibn Husain, ia berkata :”Kami beserta Rasulullah saw di dalam suatu safar.maka Rasulullah shalat dengan kami (para sahabatnya). Dalam pada itu ada seorang laki-laki mengasingkan diri, tidak shalat. Melihat itu, Rasulullah saw bertanya: ‘Apakah yang menghalangi kamu shalat?’ Orang itu menjawab : ‘Saya berjunub dan tidak mendapatkan air’. Mendengar itu Rasulullah saw bersabda : ‘Pakailah sha’id (bertayamumlah kamu); tayamum itu cukup untuk kamu’”. (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim)[1]

Hadits ini menyatakan bahwa kita boleh bertayammum ketika tidak memperoleh air. Tidak ada perbedaan dalam masalah antara si junub dengan bukan. Laki-laki yang mengasingkan dirinya itu ialah Khalid bin Malik Al-Anshary.[2]
Para fuqaha berpendapat bahwa apabila orang berjunub yang telah shalat dengan bertayammum saja, kemudian ia menjumpai air, wajiblah ia mandi dan shalat yang dikerjakannya dengan bertayammum tidak diulangi lagi.
Abu Ishaq Az-Zajjij mengatakan : “Sha’id atau tanah yang disebut dalam hadits tersebut adalah permukaan bumi, baik tanah itu berdebu, ataukah tidak. Karena makana sha’id ialah tanah permukaan bumi, bukan debu. Segala ahli lughah menetapkan makna sha’id demikian”.[3] Akan tetapi yang berpendirian dkhususkannya tayamum hanya dengan debu ialah : Al-‘Athrah, Syafi’i, Ahmad, dan Daud. Sedang Imam Malik, ‘Atha’, Auzai’i. Dan Tsauri, mereka berpendirian boleh tayammum dengan tanah dan apa saja yang ada dipermukaannya.[4]
Abu Hanifah dan Malik mengatakan : “Boleh bertayammum dengan segala unsur-unsur bumi dan boleh bertayammum karena dingin”.[5]
Syafi’i dan Ahmad mengatakan : “Orang yang berjunub tidak boleh bertayammum kecuali apabila takut mati karena menggunakan air”. Ulama Hadawiyah, Abu Hanifah dan Malik, demikian pula Syafi’i dalam dalam salah satu pendapatnya, berpendapat bahwa bertayammum karena takut akan mudharat saja, dibolehkan, walaupun kemudharatan itu tidak membawa maut”.[6]

2.      Hadits Tentang Rukun Tayammum
Ammar bin Yasir ra berkata :

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : التَّيَمُّمُ ضَرْبَةٌ لِلْوَجْهِ وَ الْيَدَيْنِ. (رواه اهمد و ابو داود)

Artinya : Nabi saw bersabda : “Tayammum itu, satu kali tepuk untuk muk dan dua tangan”. (HR. Ahmad dan Abu Daud)[7]

Al-Khatbaby dalam Ma’allimus Sunnan mengatakan : “Segolongan para ulama bependapat bahwa tayamum itu sekali tepuk saja untuk muka dan telapak tangan”. Demikianlah pendapat Atha’ bin Abi Rabah dan Makhul,  Malik, Al-Auza’iy, Ahmad bi Hanbal, Ishaq, Ibnu Munzir, dan semua ahli-ahli hadis. Al-Khatbaby berkata : “Inilah mazhab yang lebih sah menurut riwayatnya.”
Asy-Syafi’i mengatakan : “Tidak sah tayamum itu melainkan dengan dua kali tepuk, sekali untuk muka dan sekali lagi untuk dua tangan hingga dua siku. Abu Hanifah dan pengikutnya juga berpendapat demikian”.

3.      Hadits Tentang Hal yang Membatalkan Tayammum

عَنْ اَبِى ذَرٍّ : أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَ سَلّمَ قَالَ : اِنَّ الصَّعِيْدَ الطَّيِّبَ طَهُوْرُ الْمُسْلِمِ , وَ إِنْ يَجْدِ الْمَاءَ عَشَرَ سِنِيْنَ , فَاِذَا وَجَدَ الْمَاءَ فَلْيَمَسَّهُ  بَشَرَتَهُ , فَإِنَّ ذَلِكَ خَيْرٌ . (رواه أهمد و الترميذي)

Artinya : Dari Abu Dzar, bahwa Rasulullah saw bersabda : “Sesungguhnya debu yang bersih itu adalah sebagai pensuci bagi orang Islam, sekalipun ia tidak mendapat air selama sepuluh tahun, kemudian apabila ia mendapat air, maka hendaklah ia mengusapkan air itu pada kulitnya, karena yang demikian itu sangat baik”. (HR. Ahmad dan Tirmidzi)

Hadits ini menyatakan bahwa, tayammum akan menjadi batal jika shalat yang dilakukan dengna tayammum akan batal jika di tengah shalat melihat air. Hadits ini bersifat muthlaq (terpisah), begitu menurut penulis Nailul Authar. Akan tetapi menurut mazhab syafi’i dan maliki, jika melihat airnya setelah selesainya shalat, maka shalatnya tidak batal dan tidak wajib diulangi.[8]

4.      Hadits Lain yang Berkaitan dengan Tayamum

عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَار عَنْ أَبِي سَعِيْدِ الْخُدْرِي قَالَ : خَرَجَ رَجُلَانِ فِيْ سَفَرٍ فَحَضَرَتْ الصَّلَاةُ وَلَيْسَ مَعَهُمَا مَاءٌ فَتَيَمُّمَا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَصَلَيَا ، ثُمَّ وَجَدَا الْمَاءَ فِي الْوَقْتِ فَأَعَادَ أَحَدُهُمَا الْوُضُوْءَ وَالصَّلَاةَ ، وَلَمْ يُعِدْ الْآخَرُ ، ثُمَّ أُتِيَا رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَا ذَلِكَ لَهُ ، فَقَالَ لِلَّذِي لَمْ يُعِدْ : أَصَبْتَ السُّنَّةَ وَأَجْزَأَتْكَ صَلَاتُكَ ؛ وَقَالَ لِلَّذِي تَوَضْأَ وَأَعَادَ : لَكَ الْأَجْرُ مَرَّتَيْنِ

Artinya : Dari Atha` bin Yasar dari Abi Said Al-Khudhri ra berkata bahwa ada dua orang bepergian dan mendapatkan waktu shalat tapi tidak mendapatkan air. Maka keduanya bertayammum dengan tanah yang suci dan shalat. Selesai shalat keduanya menemukan air. Maka seorang diantaranya berwudhu dan mengulangi shalat, sedangkan yang satunya tidak. Kemudian keduanya datang kepada Rasulullah SAW dan menceritakan masalah mereka. Maka Rasulullah SAW berkata kepada yang tidak mengulangi shalat,"Kamu sudah sesuai dengan sunnah dan shalatmu telah memberimu pahala". Dan kepada yang mengulangi shalat,"Untukmu dua pahala". (HR. Abu Daud dan An-Nasa`i)


Bab II
Penutup
Simpulan
Berdasarkan dalil-dalil yang didapatkan, tayammum dapat dilakukan dengan syarat jika tidak ditemukannya air untuk berwudhu dan jika tidak sanggup untuk menyentuh air, menggunakan debu yang suci dan telah masuk waktu shalat. Adapun rukun tayammum yaitu :
1.      Niat
2.      Mengusap muka
3.      Mengusap tangan hingga siku
4.      Tertib
Adapun hal-hal yang membatalkan tayammum yaitu :
1.      Segala hal yang membatalkan wudhu
2.      Melihat air dan lain-lain



Daftar Pustaka
Faishal bin Abdul Aziz, Nailul Authar, (Surabaya : PT Bina Ilmu, 2009).
Ash-Shiddiqi, Tengku Muhammad Hasbi, Koleksi Hadis-Hadis Hukum, (Semarang : PT Pustaka Rizki Putra, 2011).
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam wa adillatuhu, (Jakarta : Darul Fikir, 2013). Cetakan IV.




[1] Faishal bin Abdul Aziz, Nailul Authar, (Surabaya : PT Bina Ilmu, 2009). Halaman 217.
[2] Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqi, Koleksi Hadis-Hadis Hukum, (Semarang : PT Pustaka Rizki Putra, 2011). Halaman 240.
[3] Ibid.
[4] Faishal bin Abdul Aziz, Nailul Authar... Halaman 226.
[5] Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqi, Koleksi Hadis-Hadis Hukum... Halaman 240
[6] Ibid.
[7] Ibid. Halaman 247
[8] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam wa adillatuhu, (Jakarta : Darul Fikir, 2013). Cet IV. Halaman 504