Makalah
Fiqih Muamalah
Azas
dan Prinsip Muamalah
Nama :
Khairuddin
Saiful Maulana
Semester / Unit : IV / 2
Fakultas
Syari'ah Jurusan Muamalah
Institut
Agama Islam Negeri
Zawiyah
Cot Kala
2015
Bab
I
Pendahuluan
Sebagaimana seseorang tidak dipaksa untuk masuk ke dalam agama
Islam, maka seseorang yang yang telah beragama Islam mestilah harus mengikuti
seluruh syariat yang telah Allah tetapkan. Syariat yang Allah turunkan melalui
Rasulullah SAW mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, baik secara individu
maupun bermasyarakat atau yang disebut mu’amalah.
Di dalam kajian mu’amalah , Islam mengatur prinsip dan azas
yang mendasari seluruh kegiatan bermuamalah dalam kehidupan sehari-hari. Azas
dan prinsip itu diantaranya yaitu bahwa setiap muslim tidak boleh mengambil hal
orang lain secara batil.
Dalam bab selanjutnya akan dibahas mengenai azas dan prinsip
muamalah dalam Islam yang rumusan masalahnya adalah sebagai berikut :
1.
Apa
yang dimaksud dengan hak dan bagaimana pembagiannya ?
2.
Apa
yang dimaksud dengan harta dan kepemilikan ?
3.
Apa
yang dimaksud dengan akad ?
4.
Apa
saja rukun dan syarat akad ?
5.
Bagaimana
pembagian akad ?
Bab II
Pembahasan
A.
Hak dan Pembagiannya
1.
Pengertian Hak
Hak secara etimologi berarti milik, ketetapan dan kepastian. Hak
diartikan pula dengan menetapkan dan menjelaskan. Hak berarti juga dengan
bagian (kewajiban yang terbatas). Hak juga berarti adil, lawan dari zalim.[1]
Secara istilah, menurut Ibnu Nujaim, hak adalah suatu kekhususan
yang terlindungi. Sedangkan menurut Mustafa Ahmad Az-Zarqa hak adalah suatu
kekhususan yang padanya ditetapkan syara’ suatu kekuasaan atau taklif.
Menurut ulam fikih ada dua rukun hak yaitu pemilik hak dan objek
hak, bai yang bersifat materi maupun utang. Dalam pandangan Islam yang menjadi
pemilik hak adalah Allah . baik yang menyangkut hak-hak keagamaann, hak-hak
pribadi atau hak-hak secara hukum, seperti persengketaan atau yayasan.
Seorang manusia menurut ketetapan syara’ telah memiliki hak-hak
pribadi sejak ia masih janin dan hak-hak itu dapat dimanfaatkan dengan penuh,
apabila janin lahir ke dunia dengan selamat. Namun hak pribadi yang diberikan
Allah ini akan habis, jika pemilik hak itu meninggal dunia.
2.
Pembagian Hak
Ditinjau dari segi kepemilikan, fuqaha mengelompokkan hak kepada
empat bagian, yaitu hak Allah murni, hak manusia murni, di dalamnya tergabung
hak Allah dan manusia tetapi hak Allah yang lebih dominan, dan hak yang di
dalamnya tergabung hak Allah dan manusia tetapi hak manusia yang lebih dominan.[2]
a.
Hak
Allah Murni, maksudnya sesuatu yang memungkinkan mendekatkan diri kepada Allah,
mengagungkannya, dan menegakkan syiar agamaNya. Termasuk juga ke dalamnya
sesuatu yang dapat mewujudkan kepentingan, manfaat dan kemashlahatan untuk
orang banyak dan tidak khusus kepada orang tertentu.
b.
Hak
Manusia Murni, maksudnya suatu hak untuk memlihara kemashlahatan dan
kepentingan perorangan, maupun yang bersifat umum atau khusus. Hak yang
bersifat umum seperti memlihara kesehatan anak, dan harta benda, serta tercipta
keamanan dan pemanfaatan sarana umummulik negara. Hak yang bersifat khusus,
seperti hak penjual penerima pembayaran atas barang yang dijualnya, hak pembeli
menerima barang yang dibelinya, hak seorang untuk mendapatkan ganti rugi atas
harta bendanya yang dirusak orang lain.
c.
Hak
yang didalamnya tergabung hak Allah dan hak manusia tetapi hak Allah lebih
dominan. Sebagai contoh dalam hal ini adalah iddah perempuan yang diceraikan.
d.
Hak
yang di dalamnya terdapat hak Allah dan manusia tetapi hak manusia lebih
dominan. Sebagai contoh dalam hal ini adalah qishash (pembunuhan).
Ditinjau dari kewenangan pengadilan (hakim) terhadap hak tersebut,
hak dibagi sebagai berikut[3] :
a.
Haq
Diyaani (keagamaan), yaitu hak-hak yang
tidak boleh dicampuri oleh kekuasaan kehakiman.
b.
Hak Qadhaani , adalah seluruh hak dibawah kekuasaan pengadilan (hakim) dan
pemilik hak itu mampu membuktikan haknya didepan hakim.
Ditinjau dari objek hak, hak terbagi atas[4] :
a.
Haq Maali
(hak yang berhubungan dengan harta), seperti hak penjual terhadap
harga barang yang dijualnya dan hak pembeli terhadap barang yang dibelinya.
b.
Haq
Ghairu Maali ,adalah hak-hak
yang tidak terkait dengan harta benda, seperti hak qishash, dan seluruh
hak asasi manusia.
c.
Haq
asy-Syakhsyi, adalah hak-hak
yang ditetapkan syara’ bagi pribadi berupa kewajiban terhadap orang lain,
seperti hak seseorang terhadap hutang.
d.
Haq
al-‘Aini ,adalah hak seseorang yang
ditetapkan syara’ terhadap suatu zat, sehingga ia memiliki kekuasaan penuh
untuk menggunakan dan mengembangkan haknya itu, seperti hak memiliki suatu
benda.
B.
Harta dan Kepemilikan
Harta secara sederhana mengandung arti sesuatu yang dapat dimiliki.
Ia termasuk salah satu sendi bagi kehidupan manusia di dunia, karena tanpa
harta atau secara khusus adalah makanan,manusia tidak akan dapat bertahan
hidup. Olehkarena itu Allah swt menyuruh manusia memperolehnya, memilikinya dan
memanfaatkannya bagi kehidupan manusia. Melarang berbuat sesuatu yang akan
merusak dan meniadakan harta itu. Ia dapat berwujud bukan materi seperti
hak-hak dan dapat pula berwujud materi, yang berwujud materi ini ada yang
bergerak dan ada pula yang tidak bergerak.[5]
Yang memiliki harta secara mutlak adalah Allah SWT yang menciptakan
semua yang ada di dalam alam ini. Hal ini banyak dinyatakan Allah dalam
Al-Quran, diantaraya pada surat Ali-Imran : 109 ,
وَ
لِلّهِ مَا فِى السَّمَاوَاتِ وَ مَا فِى الْأَرْضِ وَ اِلَى اللهِ تُرْجَعُ
الْأُمُوْرُ ( الى إمران : 109)
Artinya: Kepunyaan Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di
bumi dan kepadanya dikembalikan segala urusan.
Bila harta kekayaan Allah itu telah diperoleh oleh manusia, maka
untuk selanjutnya manusia berhak untuk memakan dan memamnfaatkannya, untuk
selanjutnya manusia telah berhak memilikinya. Dengan begitu pemilikan manusia
terhadap harta yang telah diperolehnya dari Allah melalui usahanya itu tidak
dalam pemilikian mutlak, dengan arti hanya berhak menguasainya, sedangkan
pemilikan mutlak tetap berada pada Allah SWT. Olehkarena itu manusia harus
menguasai dan memanfaatkan harta itu sesuai dengan yang diridhai Allah SWT.
Harta yang dapat dan boleh diperoleh dan dimanfaatkan oleh manusia
terikat dengan dua syarat[6] :
1.
Harta
itu adalah harta yang baik zat dan materinya, tidak merusak pada diri yang
memakai dan orang lain. Dalam beberapa ayat Al-Quran Allah memperlawankan
antara baik dan buruk yang memberikan kesempatan kepada kita untuk menyimpulkan
kepadakita bahwa sesuatu yang baik itu adalah yang tidak buruk. Seperti surat
Al-Maidah ayat 3 :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ
الْمَيْتَةُ وَ الدَّمُ وَ لَحْمُ الْخِنْزِيْرِ وَ مَا اُهِلَّ لِغَيْرِ اللهِ
بِهِ وَ الْمُنْخَنِقَةُ وَ الْمَوْقُوْذَةُ وَ الْمُتَرَدِّيَةُ وَ النَّطِيْحَةُ
وَ مَا اَكَلَ السَّبُعُ اِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ ...
Artinya : Diharamkan atasmu memakan bangkai, darah daging babi,
daging hewan yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang
terpukul, yang terjatuh, yang ditanduk dan diterkam binatang buas, kecuali yang
sempat kamu menyembelihnya.
2.
Harta
itu adalah harta yang halal dalam arti yang diperoleh dengan cara yang sesuai
dengan petunjuk Allah. Dan tidak dilarang oleh Allah unutk memperolehnya. Harta
yang diperoleh secara halal ini dalm ibarat lain disebut harta yang diperoleh
secara hak. Sedangkan harta yang diperoleh secara tidak halal, itulah yang
disebut dengan harta yang diperoleh secara batil.
Adapun bentuk usaha dalam memperoleh harta yang menjadi karunia
Allah untuk dimiliki oleh manusia bagi menunjang kehidupannya secara garis
besar ada dua bentuk :
1.
Memperoleh
harta secara langsung sebelum dimiliki oleh siapa pun. Bentuk yang jelas dari
mendapatkan harta seperti ini adalah menghidupakan tanah yang mati yang belum
dimiliki. Sebagaimana sabda Nabi :
مَنْ اَحْيَا أَرْضًا
مَيْتَةَ فَهِيَ لَهُ
Artinya
: barangsiapa yang menghidupkan tanah mati, maka ia berhak memilikinya.
2. Memperoleh
harta yang telah dimiliki oleh orang lain melalui suatu transaksi. Bentuk ini
dipisahkan dengan dua cara. Pertama peralihan harta berlangsung dengan
sendirinya seperti warisan. Kedua peralihan harta berlangsung dengan tidak
sendirinya dengan arti atas suatu kehendak baik kehendak sendiri ataupun
kehendakorang lain.
Sebagaimana harta mesti didapatkan dengan cara yang halal lagi
baik, maka harta juga harus dimanfaatkan dengan cara yang baik pula. Tujuan
utama dari penciptaan harta oleh Allah adalah untuk menunjang kehidupan
manusia. Olehkarena itu, harta itu harus digunakan untuk maksud tersebut.
Tentang penggunaan harta yang telah diperoleh itu ada beberapa petunjuk dari
Allah sebagai berikut :
1.
Digunakan
untuk kepentingan hidup sendiri. Dalam pemanfaatannya, manusia dilarang untuk
melakukan israf dan tabzir. Israf yaitu berlebih-lebihan dalam
memanfaatkan harta. Maksudnya menggunakannya melebihi ukuran yang patut. Tabzir
yaitu boros dalam arti menggunakan harta untuk sesuatu yang tidak
diperlukan dan menghambur-hamburkan harta unutk sesuatu yang tidak bermanfaat.
2.
Digunakan
untuk memenuhi kewajibannya kepada Allah seperti membayar zakat, nazar atau
kewajiban lain meskpun secara praktis juga digunkan unutk kepentingan manusia.
3.
Digunakan
bagi kepentingan sosial. Hal ini dilakukan karena meskipun semua orang dituntut
untuk berusaha mencari rezeki namun yang diberikan Allah tidaklah sama unutk
setiap orang.
Disamping memberi pedoman bagaimana memanfaatkan harta secara
benar, Allah juga melarang manusia menggunakan hartanya dijalan yang salah,
sebagaimana yang tegambar dalam surat Al-Anfal : 36 ,
اِنَّ
الَّذِيْنَ كَفَرُوْا يُنْفِقُوْنَ اَمْوَالَهُمْ لِيَصُدُّوْا عَنْ سَبِيْلِ
اللهِ ...
Artinya : Sesungguhnya
orang-orang kafir itu menggunakan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari
jalan Allah....
Secara lebih khusus, Rasulullah melarang menggunakan harta yang
diperoleh dengan cara seperti berikut :
1.
Ihtikar,
yaitu menimbun secara spekulatif dalam bentuk membeli barang
sewaktu harga masih stabil kemudian dijualnya dengan harga tinggi ketika barang
itu menjadi langka karena penimbunan yang dilakukannya.
2.
Iddikhar,
yaitu menumpuk barang untuk kepentingn sendiri sewaktu orang ain
mengalami kelangkaan terhadap barang itu. Larangan ini dimaksudkan agar umat
tidak menggunakan hartanya untuk menyulitkan orang lain.
Kepemilikan dalam pandangan hukum Islam dapat dibedakan menjadi[7] :
a.
Milik
yang sempurna, yaitu hak milik yang sempurna sebab kepemilikannya meliputi
penguasaan terhadap bendanya dan manfaatnya secara keseluruhan.
b.
Milik
yang kurang sempurna, yaitu kepemilikan yang hanya meliputi bendanya saja atau
manfaatnya saja.
C.
Akad
1.
Pengertian Akad
Akad berarti perikatan, perjanjian dan pemufakatan. Pertalian ijab
dan kabul sesuai dengan syariat yang berpengaruh pada objek perikatan. Semua
perikatan yang dilakukan dua pihak atau lebih, tidak boleh menyimpang dan harus
sejalan dengan kehendak syariat. Tidak boleh ada kesepakatan untuk menipu orang
lain, transaksi barang-barang yang diharamkan dan kesepakatan untuk membunuh
seseorang[8].
2.
Rukun dan Syarat Akad
Akad memiliki tiga rukun yaitu adanya dua orang atau lebih yang
melakukan akad, objek akad, dan lafaz (sighat) akad.
1.
Dua
Pihak atau Lebih yang Melakukan Akad
Dua orang atau lebih yang melakukan akad ini adalah orang-orang
yang secara langsung terilbat dalam akad. Kedua belah pihak disyaratkan harus
memiliki kelayakan untuk melakukan akad sehingga perjanjian atau akad tersebut
dianggap sah. Kelayakan terwujud dengan beberapa hal berikut :
Pertama, kemampuan
membedakan yang baik dan buruk. Yakni apabila pihak-pihak tersebut sudah
berakal lagi baligh dan tidak dalam keadaan tercekal. Orang yang tercekal karena
dianggap idiot atau bangkrut total, tidak sah melakukan perjanjian
Kedua, bebas memilih.
Tidak sah akad yang dilakukan orang yang berada di bawah paksaan, kalau paksaan
itu terbukti. Misalnya orang yang berhutang dan butuh pengalihan hutangnya,
atau yang bangkrut, lalu dipaksa untuk menjual barangnya untuk menutupi
huntangnya.
Ketiga, akad itu
dapat dianggap berlaku (jadi total) bila tidak memiliki pengandaian yang
disebut khiyar (hak pilih) seperti khiyar syarath (hak pilih mentapkan
persyaratan), khiyar ru’yah (hak pilih dalam melihat), dan sejenisnya.
2.
Objek
Akad
Yakni barang yang dijual dalam akad jual beli, atau sesuatu yang
disewakan dalam akad sewa dan sejenisnya. Dalam hal itu juga ada beberapa
persyaratan sehingga akad tersebut dianggap sah, yakni sebagai berikut :
-
Barang
tersebut harus suci atau meskipun terkena najis, bisa dibersihkan. Oleh sebab
itu, akad usaha ini tidak bisa diberlakukan pada benda najis secara dzati,
seperti bangkai. Atau benda yang terkena najis namun tidak mungkin dihilangkan
najisnya, seperti cuka, susu, dan benda cair sejenis yang terkena najis. Namun
kalau mungkin dibersihkan yaa gakpapa.
-
Barang
tersebut harus bisa digunakan dengan cara yang disyariatkan. Karena fungsi
legal dari satu komoditi menjadi dasara nilai dan harga komoditi tersebut.
Segala komoditi yang tidak tidak berguna seperti barang-barang rongsokkan ang
tidak dapat dimanfaatkan, atau bermanfaat tetapi nutk hal-hal yang diharamkan,
seperti minuman keras dan sejenisnya, semua itu tidak dapat diperjual belikan.
-
Komoditi
harus bisa diserahterimakan. Tidak sah menjual barang yang tidak ada, atau ada
tapi tidak bisa diserahterimakan. Karena yang demikian itu termasuk gharar,
dan itu dilarang.
-
Barang
yang dijual harus merupakan milik sempurna dari orang yang melakukan penjualan.
Barang yang tidak bisa dimiliki tidak sah diperjualbelikan.
-
Harus
diketahui wujudnya oleh orang yang melakukan akad jual beli bila merupakan
barang-barang yang dijual langsung. Dan harus diketahui ukuran, jenis dan
kriterianya apabila barang-barang itu berada dalam kepemilikan namun tidak
berada di lokasi transaksi. Bila barang-barang itu dijual langsung harus
diketahui wujudnya, seperti mobil tertentu atau rumah tertentu dan sejenisnya.
Dalam sebuah hadits disebutkan, yang artinya sebagai berikut :
“Barangsiapa
yang melakuakn jual beli salam hendanya ia memesannya dalam satu takaran atau
timbangan serta dalam batas waktu yang jelas”.
3.
Lafaz
Akad (Sighat)
Yang dimaksudkan dengan pengucapan akad itu adalah ungkapan yang
dilontarkan oleh orang yang melakukan akad untuk menunjukkan keinginannya yang
mengesankan bahwa akad itu sudah berlangsung. Tentu saja ungkapan itu harus
mengandung serah terima.
Ijab,(ungkapann
penyerahan barang) adalah yang diungkapan lebih dahulu, dan kabul (penerimaan)
kemudian. Ini adalah mazhab Hanfiah. Yang benar menurut mereka, ijab adalah
yang diucapkan sebelum kabul, baik itu dari pihak pemilik barang maupun pihak
yang akan jadi pemilik berikutnya.
Ijab menunjukkan penyerahan kepemilikan, sementara kabul menunjukkan
penerimaan kepemilikan. Ini adalah mazhab mayoritas ulama. Maka yang benar
menurut mereka bahwa ijab itu harus diungkapkan oeh pemilik barang pertama
seperti penjual, pemberi sewaan, wali calon istri dan lain sebagainya. Dan yang
benar menurut mereka, kabul itu berasal dari orang yang akan menjadi pemilik
kedua dari barang tersebut, seperti pembeli, penyewa, calon suami dan lain
sebagainya. Jadi pemilik pertama yang mengucapkan ijab sementara calon pemilik
kedua yang mengucapkan kabul. Tidak ada perbedaan bagi mereka, siapapun yang
mengucapkan pertama kali dan siapa yang belakangan.
Syarat-syarat sighat akad yaitu :
Pertama, harus berada
dalam satu majelis. Karena ijab itu hanya bisa menjadi bagian dari akad bila ia
bertemu langsung dengan kabul. Perlu dicatat, bahwa kesamaan lokasi tersebut
disesuaikan dengan kondisa zaman sehingga akad itu bisa berlangsung melalui
peswat telepon. Dalam kondisi demikian, lokasi tersebut adalah masa
berlangsungnya percakapan telepon. Selama percakapan itu masih berlangsung, dan
line telepon masih tersambung berarti kedua belah pihak masih berada dalam
majelis akad.
Kedua, hal yang
menjadi penyebab terjadinya ijab harus tetap ada hingga terjadinya kabul dari
pihak kedua yang ikut dalam akad. Kalau ijab itu ditarik dari pihak pertama,
lalu datang kabul, itu dianggap kabul tanpa ijab, dan itu tidak ada nilainya
sama sekali.
Ketiga, tidak adanya
hal yang menunjukkan penolakan atau pengunduran diri dari pihak kedua. Karena
adanya hal itu membatalkan ijab. Kalau datang lagi penerimaan itu, sudah tidak
ada gunanya lagi, karena tidak terkait lagi dengan ijab sebelumnya secara tegas
sehingga akad bisa dilangsungkan.
3.
Macam-Macam Akad
1.
Berdasarkan
Hukum Taklifi
a.
Akad
wajib
b.
Akad
sunnah
c.
Akad
mubah
d.
Akad
makruh
e.
Akad
haram
2.
Berdasarkan
Materi dan Non Materi
a.
Akad
harta dari kedua belah pihak, disebut sebagai perjanjian materi, seperti jual
beli secara umum.
b.
Akad
non harta dari kedua belah pihak, yakni akad yang terajadi terhadap satu
pekerjaan tertentu tanpa imbalan uang, seperti gencatan senjata antara kamu
muslimin dengan orang kafir, akad menanggung anak yatim, wasiat dan lain lain.
c.
Akad
harta dari satu pihak dan non harta dari pihak lain. Seperti akad khulu’,
akad jizyah dan sejenisnya.
3.
Berdasarkan
Permanen atau Non Permanen
a.
Akad
permanen dari kedua belah pihak, yakni akad yang terjadi dimana masing-masing
dari kedua belah pihak tidak mampu membatalkan akad tersebut tanpa kerelaan
pihak lain. Seperti akad jual beli, salam, sewa menyewa dan sejenisnya.
b.
Akad
non permanen dari kedua belah pihak, yakni bahwa dari salah satu dari kedua
belah pihak bila menghendaki bisa membatalkan akad tersebut. Seperti wakalah,
syarikah, peminjaman, wasiat dan lain-lain.
c.
Akad
pemanen dari salah satu pihak namun non permanen pada pihak lain. Seperti
penggadaian barang setelah barang di tangan, penjamian dan sejenisnya.
4.
Berdasarkan
Sah Batalnya Akad
a.
Akad
Sah. Yakni akad yang secara mendasar dan aplikatif memang disyariatkan. Akad
yang memenuhi rukun-rukunnya dan aplikasinya secara bersamaan. Sehingga berlaku
seluruh konsekuensi akad yang sah, seperti jual beli dan lain-lain.
b.
Akad
Batal. Yakni akad yang dianggap ajaran syariat tidak diberlakukan padanya
segala konsekuensi akad yang sah.
Bab III
Kesimpulan
Hak adalah suatu kekhususan yang terlindungi. Setiap muslim
dilarang untuk merenggut hak orang lain dengan jalan yang batil. Adapun hak
terbagi 4 yaitu : hak Allah murni, hak manusia murni, hak Allah dan manusia
yang berserikat tetapi haka Allah lebih dominan dan hak Allah dan manuia yang
berserikat tetapi hak manusia lebih dominan.
Harta secara sederhana mengandung arti sesuatu yang dapat dimiliki.
Untuk mendapatkan harta, muslim dituntut untuk mencarinya dengan jalan yang
ditunjuk oleh Allah, yaitu dengan cara diusahakan dengan tangan sendiri atau
dengan melakukan transaksi.
Akad berarti perikatan, perjanjian dan pemufakatan. Pertalian ijab
dan kabul sesuai dengan syariat yang berpengaruh pada objek perikatan. Akad
berfungsi salah satunya sebagai alat untuk mengalihkan hak dari seorang kepada
orang lain.
Untuk mengadakan akad yang sah, syariat mengaturnya dengan beberapa
rukun :
1.
Dua
orang yang berakad
2.
Objek
akad
3.
Sighat
Ada beberapa macam akad, misalnya ditinjau dari kesahihannya yaitu
: akad sah adalah akad yang dilakukan sesuai syariat Islam, terpenuhi segala
rukun dan syaratnya, dan akad batal yaitu akad yang dilakukan tidak sesuai
dengan syariat Islam.
[1] M. Ali Hasan, Berbagai
Macam Transaksi dalam Islam, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004)
[2] Ibid.
[3] Ibid, Halaman12
[4] Ibid, Halaman
9
[5] Amir
Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqih, (Jakarta : Kencana, 2003).
Halaman177
[6] Ibid, Halaman
178
[7] Suhrawardi K.
Lubis, Farid Wajdi, Hukum Ekonomi Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2012)
[8] M. Ali Hasan,
Berbagai Macam Transaksi dalam Islam... Halaman 1
No comments:
Post a Comment