Thursday 5 March 2015

Makalah Fiqih Muamalah (Azas dan Prinsip Muamalah)



Makalah Fiqih Muamalah
Azas dan Prinsip Muamalah

Nama                             : Khairuddin
  Saiful Maulana
Semester / Unit              : IV / 2





Fakultas Syari'ah Jurusan Muamalah
Institut Agama Islam Negeri
Zawiyah Cot Kala
2015


Bab I
Pendahuluan
Sebagaimana seseorang tidak dipaksa untuk masuk ke dalam agama Islam, maka seseorang yang yang telah beragama Islam mestilah harus mengikuti seluruh syariat yang telah Allah tetapkan. Syariat yang Allah turunkan melalui Rasulullah SAW mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, baik secara individu maupun bermasyarakat atau yang disebut mu’amalah.
Di dalam kajian mu’amalah , Islam mengatur prinsip dan azas yang mendasari seluruh kegiatan bermuamalah dalam kehidupan sehari-hari. Azas dan prinsip itu diantaranya yaitu bahwa setiap muslim tidak boleh mengambil hal orang lain secara batil.
Dalam bab selanjutnya akan dibahas mengenai azas dan prinsip muamalah dalam Islam yang rumusan masalahnya adalah sebagai berikut :
1.      Apa yang dimaksud dengan hak dan bagaimana pembagiannya ?
2.      Apa yang dimaksud dengan harta dan kepemilikan ?
3.      Apa yang dimaksud dengan akad ?
4.      Apa saja rukun dan syarat akad ?
5.      Bagaimana pembagian akad ?







Bab II
Pembahasan

A.    Hak dan Pembagiannya
1.      Pengertian Hak
Hak secara etimologi berarti milik, ketetapan dan kepastian. Hak diartikan pula dengan menetapkan dan menjelaskan. Hak berarti juga dengan bagian (kewajiban yang terbatas). Hak juga berarti adil, lawan dari zalim.[1]
Secara istilah, menurut Ibnu Nujaim, hak adalah suatu kekhususan yang terlindungi. Sedangkan menurut Mustafa Ahmad Az-Zarqa hak adalah suatu kekhususan yang padanya ditetapkan syara’ suatu kekuasaan atau taklif.
Menurut ulam fikih ada dua rukun hak yaitu pemilik hak dan objek hak, bai yang bersifat materi maupun utang. Dalam pandangan Islam yang menjadi pemilik hak adalah Allah . baik yang menyangkut hak-hak keagamaann, hak-hak pribadi atau hak-hak secara hukum, seperti persengketaan atau yayasan.
Seorang manusia menurut ketetapan syara’ telah memiliki hak-hak pribadi sejak ia masih janin dan hak-hak itu dapat dimanfaatkan dengan penuh, apabila janin lahir ke dunia dengan selamat. Namun hak pribadi yang diberikan Allah ini akan habis, jika pemilik hak itu meninggal dunia.
2.      Pembagian Hak
Ditinjau dari segi kepemilikan, fuqaha mengelompokkan hak kepada empat bagian, yaitu hak Allah murni, hak manusia murni, di dalamnya tergabung hak Allah dan manusia tetapi hak Allah yang lebih dominan, dan hak yang di dalamnya tergabung hak Allah dan manusia tetapi hak manusia yang lebih dominan.[2]
a.       Hak Allah Murni, maksudnya sesuatu yang memungkinkan mendekatkan diri kepada Allah, mengagungkannya, dan menegakkan syiar agamaNya. Termasuk juga ke dalamnya sesuatu yang dapat mewujudkan kepentingan, manfaat dan kemashlahatan untuk orang banyak dan tidak khusus kepada orang tertentu.
b.      Hak Manusia Murni, maksudnya suatu hak untuk memlihara kemashlahatan dan kepentingan perorangan, maupun yang bersifat umum atau khusus. Hak yang bersifat umum seperti memlihara kesehatan anak, dan harta benda, serta tercipta keamanan dan pemanfaatan sarana umummulik negara. Hak yang bersifat khusus, seperti hak penjual penerima pembayaran atas barang yang dijualnya, hak pembeli menerima barang yang dibelinya, hak seorang untuk mendapatkan ganti rugi atas harta bendanya yang dirusak orang lain.
c.       Hak yang didalamnya tergabung hak Allah dan hak manusia tetapi hak Allah lebih dominan. Sebagai contoh dalam hal ini adalah iddah perempuan yang diceraikan.
d.      Hak yang di dalamnya terdapat hak Allah dan manusia tetapi hak manusia lebih dominan. Sebagai contoh dalam hal ini adalah qishash (pembunuhan).
Ditinjau dari kewenangan pengadilan (hakim) terhadap hak tersebut, hak dibagi sebagai berikut[3] :
a.       Haq Diyaani (keagamaan), yaitu hak-hak yang tidak boleh dicampuri oleh kekuasaan kehakiman.
b.      Hak Qadhaani , adalah seluruh hak dibawah kekuasaan pengadilan (hakim) dan pemilik hak itu mampu membuktikan haknya didepan hakim.
Ditinjau dari objek hak, hak terbagi atas[4] :
a.       Haq Maali (hak yang berhubungan dengan harta), seperti hak penjual terhadap harga barang yang dijualnya dan hak pembeli terhadap barang yang dibelinya.
b.      Haq Ghairu Maali ,adalah hak-hak yang tidak terkait dengan harta benda, seperti hak qishash, dan seluruh hak asasi manusia.
c.       Haq asy-Syakhsyi, adalah hak-hak yang ditetapkan syara’ bagi pribadi berupa kewajiban terhadap orang lain, seperti hak seseorang terhadap hutang.
d.      Haq al-‘Aini ,adalah hak seseorang yang ditetapkan syara’ terhadap suatu zat, sehingga ia memiliki kekuasaan penuh untuk menggunakan dan mengembangkan haknya itu, seperti hak memiliki suatu benda.

B.     Harta dan Kepemilikan
Harta secara sederhana mengandung arti sesuatu yang dapat dimiliki. Ia termasuk salah satu sendi bagi kehidupan manusia di dunia, karena tanpa harta atau secara khusus adalah makanan,manusia tidak akan dapat bertahan hidup. Olehkarena itu Allah swt menyuruh manusia memperolehnya, memilikinya dan memanfaatkannya bagi kehidupan manusia. Melarang berbuat sesuatu yang akan merusak dan meniadakan harta itu. Ia dapat berwujud bukan materi seperti hak-hak dan dapat pula berwujud materi, yang berwujud materi ini ada yang bergerak dan ada pula yang tidak bergerak.[5]
Yang memiliki harta secara mutlak adalah Allah SWT yang menciptakan semua yang ada di dalam alam ini. Hal ini banyak dinyatakan Allah dalam Al-Quran, diantaraya pada surat Ali-Imran : 109 ,

وَ لِلّهِ مَا فِى السَّمَاوَاتِ وَ مَا فِى الْأَرْضِ وَ اِلَى اللهِ تُرْجَعُ الْأُمُوْرُ ( الى إمران : 109)
Artinya: Kepunyaan Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan kepadanya dikembalikan segala urusan.

Bila harta kekayaan Allah itu telah diperoleh oleh manusia, maka untuk selanjutnya manusia berhak untuk memakan dan memamnfaatkannya, untuk selanjutnya manusia telah berhak memilikinya. Dengan begitu pemilikan manusia terhadap harta yang telah diperolehnya dari Allah melalui usahanya itu tidak dalam pemilikian mutlak, dengan arti hanya berhak menguasainya, sedangkan pemilikan mutlak tetap berada pada Allah SWT. Olehkarena itu manusia harus menguasai dan memanfaatkan harta itu sesuai dengan yang diridhai Allah SWT. 

Harta yang dapat dan boleh diperoleh dan dimanfaatkan oleh manusia terikat dengan dua syarat[6] :
1.      Harta itu adalah harta yang baik zat dan materinya, tidak merusak pada diri yang memakai dan orang lain. Dalam beberapa ayat Al-Quran Allah memperlawankan antara baik dan buruk yang memberikan kesempatan kepada kita untuk menyimpulkan kepadakita bahwa sesuatu yang baik itu adalah yang tidak buruk. Seperti surat Al-Maidah ayat 3 :

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَ الدَّمُ وَ لَحْمُ الْخِنْزِيْرِ وَ مَا اُهِلَّ لِغَيْرِ اللهِ بِهِ وَ الْمُنْخَنِقَةُ وَ الْمَوْقُوْذَةُ وَ الْمُتَرَدِّيَةُ وَ النَّطِيْحَةُ وَ مَا اَكَلَ السَّبُعُ اِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ ...
Artinya : Diharamkan atasmu memakan bangkai, darah daging babi, daging hewan yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang terjatuh, yang ditanduk dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya.

2.      Harta itu adalah harta yang halal dalam arti yang diperoleh dengan cara yang sesuai dengan petunjuk Allah. Dan tidak dilarang oleh Allah unutk memperolehnya. Harta yang diperoleh secara halal ini dalm ibarat lain disebut harta yang diperoleh secara hak. Sedangkan harta yang diperoleh secara tidak halal, itulah yang disebut dengan harta yang diperoleh secara batil.

Adapun bentuk usaha dalam memperoleh harta yang menjadi karunia Allah untuk dimiliki oleh manusia bagi menunjang kehidupannya secara garis besar ada dua bentuk :
1.      Memperoleh harta secara langsung sebelum dimiliki oleh siapa pun. Bentuk yang jelas dari mendapatkan harta seperti ini adalah menghidupakan tanah yang mati yang belum dimiliki. Sebagaimana sabda Nabi :

مَنْ اَحْيَا أَرْضًا مَيْتَةَ فَهِيَ لَهُ

Artinya : barangsiapa yang menghidupkan tanah mati, maka ia berhak memilikinya.

2.     Memperoleh harta yang telah dimiliki oleh orang lain melalui suatu transaksi. Bentuk ini dipisahkan dengan dua cara. Pertama peralihan harta berlangsung dengan sendirinya seperti warisan. Kedua peralihan harta berlangsung dengan tidak sendirinya dengan arti atas suatu kehendak baik kehendak sendiri ataupun kehendakorang lain.

Sebagaimana harta mesti didapatkan dengan cara yang halal lagi baik, maka harta juga harus dimanfaatkan dengan cara yang baik pula. Tujuan utama dari penciptaan harta oleh Allah adalah untuk menunjang kehidupan manusia. Olehkarena itu, harta itu harus digunakan untuk maksud tersebut. Tentang penggunaan harta yang telah diperoleh itu ada beberapa petunjuk dari Allah sebagai berikut :
1.      Digunakan untuk kepentingan hidup sendiri. Dalam pemanfaatannya, manusia dilarang untuk melakukan israf dan tabzir. Israf yaitu berlebih-lebihan dalam memanfaatkan harta. Maksudnya menggunakannya melebihi ukuran yang patut. Tabzir yaitu boros dalam arti menggunakan harta untuk sesuatu yang tidak diperlukan dan menghambur-hamburkan harta unutk sesuatu yang tidak bermanfaat.
2.      Digunakan untuk memenuhi kewajibannya kepada Allah seperti membayar zakat, nazar atau kewajiban lain meskpun secara praktis juga digunkan unutk kepentingan manusia.
3.      Digunakan bagi kepentingan sosial. Hal ini dilakukan karena meskipun semua orang dituntut untuk berusaha mencari rezeki namun yang diberikan Allah tidaklah sama unutk setiap orang.
Disamping memberi pedoman bagaimana memanfaatkan harta secara benar, Allah juga melarang manusia menggunakan hartanya dijalan yang salah, sebagaimana yang tegambar dalam surat Al-Anfal : 36 ,

اِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا يُنْفِقُوْنَ اَمْوَالَهُمْ لِيَصُدُّوْا عَنْ سَبِيْلِ اللهِ ...
Artinya : Sesungguhnya orang-orang kafir itu menggunakan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah....

Secara lebih khusus, Rasulullah melarang menggunakan harta yang diperoleh dengan cara seperti berikut :
1.      Ihtikar, yaitu menimbun secara spekulatif dalam bentuk membeli barang sewaktu harga masih stabil kemudian dijualnya dengan harga tinggi ketika barang itu menjadi langka karena penimbunan yang dilakukannya.
2.      Iddikhar, yaitu menumpuk barang untuk kepentingn sendiri sewaktu orang ain mengalami kelangkaan terhadap barang itu. Larangan ini dimaksudkan agar umat tidak menggunakan hartanya untuk menyulitkan orang lain.
Kepemilikan dalam pandangan hukum Islam dapat dibedakan menjadi[7] :
a.    Milik yang sempurna, yaitu hak milik yang sempurna sebab kepemilikannya meliputi penguasaan terhadap bendanya dan manfaatnya secara keseluruhan.
b.      Milik yang kurang sempurna, yaitu kepemilikan yang hanya meliputi bendanya saja atau manfaatnya saja.

C.    Akad
1.      Pengertian Akad
Akad berarti perikatan, perjanjian dan pemufakatan. Pertalian ijab dan kabul sesuai dengan syariat yang berpengaruh pada objek perikatan. Semua perikatan yang dilakukan dua pihak atau lebih, tidak boleh menyimpang dan harus sejalan dengan kehendak syariat. Tidak boleh ada kesepakatan untuk menipu orang lain, transaksi barang-barang yang diharamkan dan kesepakatan untuk membunuh seseorang[8].
2.      Rukun dan Syarat Akad
Akad memiliki tiga rukun yaitu adanya dua orang atau lebih yang melakukan akad, objek akad, dan lafaz (sighat) akad.
1.      Dua Pihak atau Lebih yang Melakukan Akad
Dua orang atau lebih yang melakukan akad ini adalah orang-orang yang secara langsung terilbat dalam akad. Kedua belah pihak disyaratkan harus memiliki kelayakan untuk melakukan akad sehingga perjanjian atau akad tersebut dianggap sah. Kelayakan terwujud dengan beberapa hal berikut :
Pertama, kemampuan membedakan yang baik dan buruk. Yakni apabila pihak-pihak tersebut sudah berakal lagi baligh dan tidak dalam keadaan tercekal. Orang yang tercekal karena dianggap idiot atau bangkrut total, tidak sah melakukan perjanjian
Kedua, bebas memilih. Tidak sah akad yang dilakukan orang yang berada di bawah paksaan, kalau paksaan itu terbukti. Misalnya orang yang berhutang dan butuh pengalihan hutangnya, atau yang bangkrut, lalu dipaksa untuk menjual barangnya untuk menutupi huntangnya.
Ketiga, akad itu dapat dianggap berlaku (jadi total) bila tidak memiliki pengandaian yang disebut khiyar (hak pilih) seperti khiyar syarath (hak pilih mentapkan persyaratan), khiyar ru’yah (hak pilih dalam melihat), dan sejenisnya.
2.      Objek Akad
Yakni barang yang dijual dalam akad jual beli, atau sesuatu yang disewakan dalam akad sewa dan sejenisnya. Dalam hal itu juga ada beberapa persyaratan sehingga akad tersebut dianggap sah, yakni sebagai berikut :
-          Barang tersebut harus suci atau meskipun terkena najis, bisa dibersihkan. Oleh sebab itu, akad usaha ini tidak bisa diberlakukan pada benda najis secara dzati, seperti bangkai. Atau benda yang terkena najis namun tidak mungkin dihilangkan najisnya, seperti cuka, susu, dan benda cair sejenis yang terkena najis. Namun kalau mungkin dibersihkan yaa gakpapa.
-          Barang tersebut harus bisa digunakan dengan cara yang disyariatkan. Karena fungsi legal dari satu komoditi menjadi dasara nilai dan harga komoditi tersebut. Segala komoditi yang tidak tidak berguna seperti barang-barang rongsokkan ang tidak dapat dimanfaatkan, atau bermanfaat tetapi nutk hal-hal yang diharamkan, seperti minuman keras dan sejenisnya, semua itu tidak dapat diperjual belikan.
-          Komoditi harus bisa diserahterimakan. Tidak sah menjual barang yang tidak ada, atau ada tapi tidak bisa diserahterimakan. Karena yang demikian itu termasuk gharar, dan itu dilarang.
-          Barang yang dijual harus merupakan milik sempurna dari orang yang melakukan penjualan. Barang yang tidak bisa dimiliki tidak sah diperjualbelikan.
-          Harus diketahui wujudnya oleh orang yang melakukan akad jual beli bila merupakan barang-barang yang dijual langsung. Dan harus diketahui ukuran, jenis dan kriterianya apabila barang-barang itu berada dalam kepemilikan namun tidak berada di lokasi transaksi. Bila barang-barang itu dijual langsung harus diketahui wujudnya, seperti mobil tertentu atau rumah tertentu dan sejenisnya.
Dalam sebuah hadits disebutkan, yang artinya sebagai berikut :
“Barangsiapa yang melakuakn jual beli salam hendanya ia memesannya dalam satu takaran atau timbangan serta dalam batas waktu yang jelas”.

3.      Lafaz Akad (Sighat)
Yang dimaksudkan dengan pengucapan akad itu adalah ungkapan yang dilontarkan oleh orang yang melakukan akad untuk menunjukkan keinginannya yang mengesankan bahwa akad itu sudah berlangsung. Tentu saja ungkapan itu harus mengandung serah terima.
Ijab,(ungkapann penyerahan barang) adalah yang diungkapan lebih dahulu, dan kabul (penerimaan) kemudian. Ini adalah mazhab Hanfiah. Yang benar menurut mereka, ijab adalah yang diucapkan sebelum kabul, baik itu dari pihak pemilik barang maupun pihak yang akan jadi pemilik berikutnya.
Ijab menunjukkan penyerahan kepemilikan, sementara kabul menunjukkan penerimaan kepemilikan. Ini adalah mazhab mayoritas ulama. Maka yang benar menurut mereka bahwa ijab itu harus diungkapkan oeh pemilik barang pertama seperti penjual, pemberi sewaan, wali calon istri dan lain sebagainya. Dan yang benar menurut mereka, kabul itu berasal dari orang yang akan menjadi pemilik kedua dari barang tersebut, seperti pembeli, penyewa, calon suami dan lain sebagainya. Jadi pemilik pertama yang mengucapkan ijab sementara calon pemilik kedua yang mengucapkan kabul. Tidak ada perbedaan bagi mereka, siapapun yang mengucapkan pertama kali dan siapa yang belakangan.
Syarat-syarat sighat akad yaitu :
Pertama, harus berada dalam satu majelis. Karena ijab itu hanya bisa menjadi bagian dari akad bila ia bertemu langsung dengan kabul. Perlu dicatat, bahwa kesamaan lokasi tersebut disesuaikan dengan kondisa zaman sehingga akad itu bisa berlangsung melalui peswat telepon. Dalam kondisi demikian, lokasi tersebut adalah masa berlangsungnya percakapan telepon. Selama percakapan itu masih berlangsung, dan line telepon masih tersambung berarti kedua belah pihak masih berada dalam majelis akad.
Kedua, hal yang menjadi penyebab terjadinya ijab harus tetap ada hingga terjadinya kabul dari pihak kedua yang ikut dalam akad. Kalau ijab itu ditarik dari pihak pertama, lalu datang kabul, itu dianggap kabul tanpa ijab, dan itu tidak ada nilainya sama sekali.
Ketiga, tidak adanya hal yang menunjukkan penolakan atau pengunduran diri dari pihak kedua. Karena adanya hal itu membatalkan ijab. Kalau datang lagi penerimaan itu, sudah tidak ada gunanya lagi, karena tidak terkait lagi dengan ijab sebelumnya secara tegas sehingga akad bisa dilangsungkan.

3.      Macam-Macam Akad

1.      Berdasarkan Hukum Taklifi
a.       Akad wajib
b.      Akad sunnah
c.       Akad mubah
d.      Akad makruh
e.       Akad haram

2.      Berdasarkan Materi dan Non Materi
a.       Akad harta dari kedua belah pihak, disebut sebagai perjanjian materi, seperti jual beli secara umum.
b.      Akad non harta dari kedua belah pihak, yakni akad yang terajadi terhadap satu pekerjaan tertentu tanpa imbalan uang, seperti gencatan senjata antara kamu muslimin dengan orang kafir, akad menanggung anak yatim, wasiat dan lain lain.
c.       Akad harta dari satu pihak dan non harta dari pihak lain. Seperti akad khulu’, akad jizyah dan sejenisnya.

3.      Berdasarkan Permanen atau Non Permanen
a.       Akad permanen dari kedua belah pihak, yakni akad yang terjadi dimana masing-masing dari kedua belah pihak tidak mampu membatalkan akad tersebut tanpa kerelaan pihak lain. Seperti akad jual beli, salam, sewa menyewa dan sejenisnya.
b.      Akad non permanen dari kedua belah pihak, yakni bahwa dari salah satu dari kedua belah pihak bila menghendaki bisa membatalkan akad tersebut. Seperti wakalah, syarikah, peminjaman, wasiat dan lain-lain.
c.       Akad pemanen dari salah satu pihak namun non permanen pada pihak lain. Seperti penggadaian barang setelah barang di tangan, penjamian dan sejenisnya.

4.      Berdasarkan Sah Batalnya Akad
a.       Akad Sah. Yakni akad yang secara mendasar dan aplikatif memang disyariatkan. Akad yang memenuhi rukun-rukunnya dan aplikasinya secara bersamaan. Sehingga berlaku seluruh konsekuensi akad yang sah, seperti jual beli dan lain-lain.
b.      Akad Batal. Yakni akad yang dianggap ajaran syariat tidak diberlakukan padanya segala konsekuensi akad yang sah.







Bab III
Kesimpulan
Hak adalah suatu kekhususan yang terlindungi. Setiap muslim dilarang untuk merenggut hak orang lain dengan jalan yang batil. Adapun hak terbagi 4 yaitu : hak Allah murni, hak manusia murni, hak Allah dan manusia yang berserikat tetapi haka Allah lebih dominan dan hak Allah dan manuia yang berserikat tetapi hak manusia lebih dominan.
Harta secara sederhana mengandung arti sesuatu yang dapat dimiliki. Untuk mendapatkan harta, muslim dituntut untuk mencarinya dengan jalan yang ditunjuk oleh Allah, yaitu dengan cara diusahakan dengan tangan sendiri atau dengan melakukan transaksi.
Akad berarti perikatan, perjanjian dan pemufakatan. Pertalian ijab dan kabul sesuai dengan syariat yang berpengaruh pada objek perikatan. Akad berfungsi salah satunya sebagai alat untuk mengalihkan hak dari seorang kepada orang lain.
Untuk mengadakan akad yang sah, syariat mengaturnya dengan beberapa rukun :
1.      Dua orang yang berakad
2.      Objek akad
3.      Sighat
Ada beberapa macam akad, misalnya ditinjau dari kesahihannya yaitu : akad sah adalah akad yang dilakukan sesuai syariat Islam, terpenuhi segala rukun dan syaratnya, dan akad batal yaitu akad yang dilakukan tidak sesuai dengan syariat Islam.



[1] M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004)
[2] Ibid.
[3] Ibid, Halaman12
[4] Ibid, Halaman 9
[5] Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqih, (Jakarta : Kencana, 2003). Halaman177
[6] Ibid, Halaman 178
[7] Suhrawardi K. Lubis, Farid Wajdi, Hukum Ekonomi Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2012)
[8] M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam... Halaman 1

No comments:

Post a Comment