Bab I
Pendahuluan
Di dalam kehidupan nyata umat Islam, segala
kegiatan ekonomi pada dewasa ini tidak lagi sama dengan kegiatan ekonomi yang
menjadi urf pada zaman Rasulullah SAW masih hidup. Oleh sebab itu
penafsiran dan pendapatdari para ahli fikih sangat diperlukan untuk keperluan
kegiatan ekonomi yang semakin hari semakin canggih dan sellau berubah
tradisinya. Produk-produk hukum yang dapat mereka tafsirkan menjadi bekal bagi
umat Islam untuk bermuamalah dengan tujuan agar umat Islam dapat mencapai falah.
Dewasa ini, jual beli secara pesanan (salam) dan
pemesanan membuat barang (istishna’) menjadi suatu kebutuhan yang tak dapat
lagi dielakkan. Hukum tentang hal itu telah ada sejak Rasulullah SAW masih
hidup, akan tetapi seuai dengan tradisi yang ada saat itu. Sejalan dengan
perkembangan zaman, maka tradisi dan teknologi pun berubah dan berkembang
sehingga akad dalam jual beli yang seperti itu pun ikut berubah. Untuk itulah
disini akan dibahas bagaimana hukum akad jual beli salam dan akad istishna’.
Selain itu juga akan dibahas tentang hak khiyar bagi para pihak yang melakukan
akad.
Adapun rumusan masalahnya sebagai berikut :
1.
Apa yang dimaksud dengan khiyar dan mana dalil hukumnya ?
2.
Apa saja pembagian khiyar ?
3.
Apa yang dimaksud dengan salam dan mana dalil hukumnya ?
4.
Apa saja rukun dan syarat akad salam ?
5.
Apa yang dimaksud dengan istishna’ dan mana dalil hukumnya ?
6.
Apa saja rukun dan syarat akad istishna’ ?
Bab II
Pembahasan
A.
Khiyar
1.
Pengertian Khiyar
Khiyar adalah hak bagi penjual dan pembeli untuk
memilih meneruskan atau membatalkan jual beli. Hak khiyar ini ditetapkan dalam
Islam untuk menjamin kerelaan dan kepuasan timbal balik pihak-pihak yang
melakukan jual beli. Hak khiyar disyariatkan dalam Islam untuk menjaga agar
jangan sampai terjadi perselisihan antar penjual dan pembeli.[1]
اِذَا
تَبَايَعَ الرَّجُلَانِ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا بِالْخِيَارِ مَالَمْ يَتَفَرَّقَا ... (رواه البخاي و مسلم)
Artinya
: Apabila dua orang melakukan akad jual beli, maka masing-masing pihak
mempunyai hak pilih, selama keduanya belum berpisah badan... (HR. Bukhari
dan Muslim)
Hadits
di atas menjadi dasar untuk khiyar majelis, dimana kedua pihak berhak
memutuskan jadi tidaknya jual beli selama mereka masih berada dalam majelis
jual beli.
اَلْمُسْلِمُ
أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ بَاعَ مِنْ اَخِيْهِ بَيْعًا وَ فِيْهِ
عَيْبٌ إِلَّا بَيَّنَهُ لَهُ (رواه ابن ماجه)
Artinya
: Sesama muslim bersaudara, tidak halal (boleh) bagi seorang muslim menjual
barangnya kepada muslim yang lain, padahal barang itu terdapat cacat (aib). (HR.
Ibnu Majah)
Hadits
ini menjadi dasar untuk khiyar aib dimana pembeli berhak membatalkan jual beli
jika ternyata terdapat cacat pada barang yang diketahui di kemudian hari.
مَنِ
اشْتَرَى شَيْاً لَمْ يَرَهُ فَهُوَ بِالْخِيَارِ إِذَا رَآهُ (رواه الدارقطنى)
Artinya
: Siapa yang membel sesuatu yang belum ia lihat, maka ia berhak khiyar
apabila telah melihat barang itu. (HR. Daruquthni)
Hadits
ini menjadi dasar untuk khiyar ru’yah yang akan di bahas pada subjudul
berikutnya.
2.
Macam-macam
Khiyar
a.
Khiyar Majlis
Khiyar majlis adalah kedua belah
pihak yang melakukan akad berhak untuk meneruskan atau membatalkan akad
jual-beli selama masih berada dalam satu majlis (tempat) atau toko.
Menurut ulama Mazhab Syafi’i dan
Hanbali, bahwa masing-masing pihak berhak mempunyai khiyar selama masih berada
dalam satu majlis, sekalipun sudah terjadi ijab dan kabul. Berbeda dengan
Mazhab Hanafi dan Maliki, bahwa suatu akad telah dipandang sempurna bila telah
terjadi ijba dan kabul. Ijab dan kabul itu terjadi setelah ada kesepakatan dan
saling suka sama suka.[3]
b.
Khiyar Syarath
Khiyar syarath ialah yang ditetapkan bagi salah
satu pihak yang berakad atau keduanya, apakah meneruskan atau membatalkan akad
itu selama dalam tenggang waktu yang disepakati bersama. Para ulama fikih
sependapat mengatakan bahwa khiyar syarat ini diperbolehkan untuk menjaga
(memelihara) hak pembeli dari unsur penipuan yang mungkin terjadi dari pihak
penjual.
c.
Khiyar Aib
Khiyar aib ialah ada hak pilih dari kedua belah
pihak yang melakukan akad, apabila terdapat suatu cacat pada benda yang
diperjualbelikan dan cacat itu tidak diketahui pemiliknya pada saat akad
berlangsung. Umpamanya, seseorang membeli telur ayam beberapa kilo. Setelah
dipecahkan ada yang busuk atau sudah menjadi anak.[4] Dalam
kasus seperti ini, ada hak khiyar bagi pembeli. Juga ada khiyar bagi penjual
jika ternyata terdapat cacat pada uang yang diberikan pembeli.[5]
Seorang muslim yang benar, tidak boleh
menyembunyikan aib yang ada pada barang yang akan dijualnya. Pihak pembeli pun
harus cermat memilih barang yang akan dibelinya. Sebab pada zaman sekarang ini
pada umumnya para penjual barang di toko-toko membuat catatan, bahwa barang
yang sudah dibeli, tidak dapat dikembalikan atau ditukar lagi. Secara langsung
atau tidak, bahwa catatan itu telah disetujui
pada saat akad terjadi.
d.
Khiyar Ru’yah
Khiyar Ru’yah adalah ada hak pilih bagi pembeli
untuk menyatakan berlaku batal jual beli yang ia lakukan terhadap suatu objek
yang belum ia lihat pada saat akad berlangsung.
Jumhur Ulama (Hanafiah, Malikiah, Hanbilah dan
Zahiriyah) menyatakan bahwa khiyar ru’yah disyariatkan dalam Islam sebagaiman
yang disebutkan dalam hadits di atas. Ulama Syafi’iyah di dalam pendapat baru
mengatakan bahwa jual beli barang yang gaib tidak sah, baik disebut sifatnya
meupun tidak. Menurut mereka, khiyar ru’yah tidak berlaku karena ada mengandung
unsur penipuan.[6]
Khiyar itu dapat dibicarakan antara penjual dan
pembeli, seperti khiyar sifat. Apabila sifat-sifat yang telah disepakati
bersama dalam suatu akad, tidak sesuai pada saat menerima barang, maka hak
khiyar ada pada pembeli, apakah akad itu diteruskan atau tidak, atau dapat
diganti kembali sesuai dengan sifat-sifat yang telah disepakati terdahulu.
B.
Salam
1.
Pengertian Salam
Salam / salaf merupakan salah satu bentuk jual
beli yang disyariatkan dalam Islam. Bentuk jual beli ini berbeda dengan jual
beli biasa dimana uang dan barang dapat langsung bertukar. Tetapi dalam jual
beli salam, hal tersebut tidak dapat terjadi karena barang tersebut masih
ditangguhkan untuk waktu yang disepakati oleh para pihak. Para ulama sepakat
tentang keabsahan jual beli salam.[7]
Secara teminologi, salam berarti menjual suatu
barang yang penyerahannya ditunda, atau menjual suatu barang yang ciri-cirinya
disebutkan dengan jelas dengan pembayaran modal terlebih dahulu, sedangkan
barangnya diserahkan kemudian hari.[8]
Sebagai contoh pada zaman sekarang, ada orang
memesan mobil merk tertentu dan menyebutkan sifat-sifatnya, dengan membayar
uang muka terlebih dahulu dan mobilnya diserahkan belakangan dalam waktu
tertentu sesuai perjanjian.
Menurut Fathi ad-Duraini, praktek jual beli salam
di dunia modern pada saat ini semakin berkembang, khususnya antar negara
(ekspor impor). Biasanya pihak produsen menawarkan barangnya dengan contoh
barang yang akan dijual.
Salam diperbolehkan oleh Rasulullah SAW dengan
syarat yang harus dipenuhi. Pada mulanya tujuan utama dari jual beli salam
adalah untuk memenuhi kebutuhan para petani kecil yang memerlukan modal untuk
memulai masa tanam dan untuk menghidupi keluarganya sampai masa waktu panen
tiba. Setelah pelanggaran riba, mereka tidak dapat lagi mengambil pinjaman
ribawi untuk keperluan ini sehingga diperbolehkan bagi mereka untuk menjual
produk pertaniannya di muka. Salam bermanfaat bagi penjual karena mereka
menerima pembayaran di muka. Salam juga bermanfaat bagi pembeli karena pada
umumnya harga dengan akad salam lebih murah daripada harga dengan akad tunai.[9]
Dasar hukum salam terdapat dalam Al-Quran surah
Albaqarah ayat 282 yang artinya :
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila
kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan hendaklah kamu
mnuliskannya..
Dan juga terdapat dalam hadits :
مَنْ
اَسْلَفَ فِيْ شَيئ فليسف في كيل معلوم و وزن معلوم إلى أجل ملوم (رواه البخارى و
مسلم)
Artinya : Siapa saja yang melakukan jual beli
salam, maka lakukanlah dalam ukuran takaran tertentu, timbangan tertentu dan
waktu tertentu. (HR. Bukhari dan Muslim).
2.
Rukun dan Syarat Salam
Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa rukun salam hanya
ijab kabul saja. Sedangkan mengenai syarat, kalangan ulama Hanafiyah dan
Hanabilah berpendapat bahwa harga harus diserahterimakan dalam majelis akad dan
menangguhkan objek akad. Bagi ulama Malikiyah, harga tidak harus
diserahterimakan dalam majelis, harga dapat diserahtrimakan kapan saja asal
disepakati dan dipahami kedua pihak yang berakad.[10]
Rukun salam menurut jumhur ulama selain Hanafiyah
yaitu[11] :
a.
Orang
yang berakad (muslam-pembeli dan muslam ilaih-penjual)
b.
Barang
yang dipesan (muslam fih)
c.
Ijab dan
kabul (sighat)
Syarat-syarat sahnya akad salam yaitu[12] :
a.
Pembeli
harus membayar penuh barang yang dipesan pada saat akad salam ditandatangani.
Hal ini diperlukan karena jika pembayaran belum penuh, maka akan terjadi
penjualan utang dengan utang yang secara eksplisit dilarang. Selain itu, hikmah
dibolehkannya salam adalah untuk memenuhi kebutuhan segera dari penjual. Jika
harga tidak dibayar penuh oleh pembeli, tujuan dasar dari akad ini tidak
terpenuhi. Oleh karena itu, semua ahli hukum Islam sepakat bahwa pembayaran
penuh di muka pada akad salam adalah perlu.
b.
Saam
hanya bolh digunaan untuk jual beli komoditas yang kualitas dan kuantitasnya
dapat ditentukan dengan tepat. Komoditas yang tidak dapat ditentukan kualitas
dan kuantitasnya tidak dapat dijual dengan akad salam. Contoh : batu mulia
tidak boleh diperjualbelikan dengan akad salam karena setiap batu mulia pada
umumnya berbeda dengan yang lainnya dalam hal kualitas atau ukuran atau dalam
berat, dan spesifikasi tepatnya umumnya sulit ditentukan.
c.
Salam
tidak dapat dilakukan untuk jual beli komoditas tertentu atau produk dari lahan
pertanian atau peternakan tertentu. Contoh : jika penjual bermaksud memasok
gandum dari lahan tertentu atau buah dari pohon tertentu, akad salam tidak sah
karena ada kemungkinan bahwa hasil panen dari lahan tertentu atau buah dari
pohon tertentu rusak sebelum waku penyerahan.
d.
Kualitas
dari komoditas yang akan dijual denga akad salam perlu mempunyai spesifikasi
yang jelas tanpa keraguan yang dapat menimbulkan perselisihan. Semua yang dapat
dirinci harus disebutkan secara eksplisit.
e.
Ukuran
kuantitas dari komoditas perlu disepakati dengan tegas. Jika komoditas tersebut
dikuantifikasi dengan berat sesuai kebiasaan dalam perdagangan, beratnya harus
ditimbang, dan jika biasa dikuantifikasi dengan diukur, ukuran pastinya harus
diketahui.
f.
Tanggal
dan tempat penyerahan barang yang pasti harus ditetapkan dalam kontrak.
g.
Salam
tidak dapat diakukan untuk barang-barang yang harus diserahkan langsung. Contoh
: jika emas yang dibeli ditukar dengan perak, sesuai dengan syari'ah,
penyerahan kedua barang harus dilakukan bersamaan. Sama halnya jika terigu
dibarter dengan gandum, penyerahan bersamaan keduanya perlu dilakukan agar jual
beli sah secara syari'ah, sehingga akad salam tidak dapat digunakan.
Dalam salam tidak dikenal khiyar syarat, artinya kalau
barangnya sudah ada dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan lantas tidak cocok
akan dikembalikan. Barang yang sudah sesuai dengan ketentuan harus diterima.[13]
Ada beberapa perbedaan pendapat di kalangan ahli fikih
mengenai syarat sah salam, antara lain sebagai berikut :
a.
Menurut
mazhab Hanafi, komoditas yang akan dijual dengan akad salam tetap tersedia di
pasar semenjak akad efektif sampai saat penyerahan. Jika komoditas tersebut
tidak tersedia di pasar pada saat akad efektif, salam tidak dapat dilakukan
meskipun diperkirakan komoditas tersebut akan tersedia di pasar pada saat
penyerahan. Namun ketiga mazhab yang lain berpendapat bahwa katersediaan
komoditas pada saat akad efektif bukan merupakan syarat sahnya akad salam. Yang
penting bahwa komoditas tersebut tersedia pada saat penyerahan.
b.
Menurut
mazhab Hanafi dan Hanbali, waktu penyerahan minimal satu bulan dari tanggal
efektif. Jika waktu penyerahan ditetapkan kurang dari satu bulan, maka akad
salam tidak sah. Imam Malik mendukung pendapat bahwa harus ada jangka waktu
minimum tertentu dalam akad salam. Namun, beliau berpendapat bahwa jangka
waktunay tidak kurangd dari 15 hari. Pendapat ini ditentang oleh beberapa ahli
hukum fikih yang lain, seperti Imam Syafi’i dan beberapa ulama Hanafi. Mereka
mengatakan baha Rasulullah SAW tidak menetapkan periode minimum sebagai syarat
sahnya akad salam. Satu-satunya syarat yang disebutkan dalam hadits adalah
bahwa waktu penyerahan harus ditetapkan secara tegas sehingga tidak boeh ada
batas waktu minimum.
C.
Istishna’
1.
Pengertian Istishna’
Istishna’ berasal dari kata sana’a yang secara
bahasa berarti membuat, manufaktur, atau membuat sesuatu. Pengertian
secara kebahasaan di atas dapat dinyatakan sejalan bahwa Istishna’ adalah
kontrak yang bersifat pesanan terhadap sesuatu objek yang dikehendaki oleh
pihak pertama dan kesediaan pihak kedua untuk menerima pesanan tersebut. Dalil
hukum Istishna’ yaitu sabda Nabi saat memesan cincin pada perajin cincin :
اِسْتِصْنَاء
خَتَمًا لِنَفْسِهِ
Artinya:
Buatkan cincin untukku.
Istishna’
adalah sebuah akad jual beli keahlian yang dimiliki seseorang kepada orang lain
yang ingin memanfaatkan keahlian yang dimilikinya tersebut dengan memesan benda
yang akan dibuatkan sesuai dengan keahlian yang dimilikinya dengan spesifikasi
benda dan harga yang ditentukan secara jelas dan dipahami kedua belah pihak.
Lebih lanjut, Wahbah Az-Zuhaili menyatakan bahwa Istishna’ adalah permintaan
(pesanan) dari pihak pemesan tentang sesuatu yang khusus dan dikerjakan dengan
cara khusus. [14]
Mazhab
Fikih yang membolehkan jual beli ini adalah mazhab Hanafiyah, Malikiyah dan
Hanabilah sedangkan mazhab Syafi’iyah, Zufar dan sebagian Hanafiyah tidak
membolehkannya. Namun, begi mereka, yang membolehkannya ialah pemesan
memerlukan barang tersebut dan pengrajin mampu membuatnya. Keberatan ulama yang
menolak jual beli ini adalah karena objek akadnya tidak diketahui secara jelas.
2.
Rukun
dan Syarat Istishna’
Rukun
akad istishna’ yaitu[15]
:
a.
Mustashni
(pembeli) dan shani’ (penjual)
b.
Objek akad (mashnu’)
c.
Sighat
Akad
istishna’ merupakan akad yang dikembangkan ulama mazhab Hanafi dan selanjutnya
dikembangkan ulama kontemporer. Pembahasannya selallu beriringan dengan salam.
Karena itu persyaratannya secara umum juga sama.[16]
Namun
terdapat beberapa perbedaan, antara lain[17]
:
a.
Objek istishna’
selalu barang yang harus diproduksi, sedangkan objek salam bisa untuk barang
apa saja, baik harus diproduksi lebih dahulu maupun tidak diprodusi lebih
dahulu.
b.
Harga dalam akad
salam harus dibayar penuh di muka, sedangkan harga dlam akad istishna’ tidak
harus dibayar penuh di muka, melainkan juga dapat dicicil atau dibayar di
belakang.
c.
Akad salam efektif
tidak dapat diutuskan secara sepihak, sementara dalam istishna’ akad dapat
diputuskan sebelum perusahaan mulai memproduksi.
d.
Waktu penyerahan
tertentu mrupakan bagian penting dari akad salam, namun dalam akad istishna’
tidak merupakan keharusan.
Meskipun
waktu penyerahan tidak harus ditentukan dalam akad istishna’, pembeli dapat
menetapkan waktu penyerahan maksimum yang berarti bahwa jika perusahaan
terlambat memenuhinya, pembeli tidak terikat untuk menerima barang dan membayar
harganya. Namun demikian, harga dalam akad istishna’ dapat dikaitkan dengan
waktu penyerahan. Jadi, boleh disepakati bahwa apabila terjadi keterlambatan
penyerahan harga dapat dipotong sejumlah tertentu pada hari keterlambatan.
Ulama
Hanafiyah berpendapat, objek akad haruslah benda yang biasa dipakai dalam
kebiasaan pembuatannya harus melalui pesanan, seperti memsan kendaraan,
pakaian, perabot rumah tangga. Contoh : dilarang memesan kain untuk dijahitkan,
karena kondisi pada masa itu kain masih dijahit sendiri dan bukan kebiasaan
yang umum untuk dipesan sehingga dilarang. Akan tetapi kebiasaan ini sekarang
bukan lagi terlarang, malah telah menjadi kebutuhan bagi semua orang.
Selain
itu, akda yang dilakukan dengan seseorang untuk membuatkan sesuatu tetapi orang
tersebut membawanya kepada orang lain untuk membuatkannya. Dalam konsep akad
istishna’, pihak pertama melakukan akad istishna’ dengan pihak kedua dan tidak
mungkin pihak kedua memesan lagi kepada pihak ketiga. Kondisi modern
menghendaki hal tersebut terjadi dan mungkin sukar bagi pihak pertama untuk
mengontrolnya atau bahkan hal tersebut telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat
kontemporer seperti istilah distributor atau dealer menadi demikian berperan
dalam sirkulasi barang.[18]
No comments:
Post a Comment