Saturday 21 March 2015

Khiyar, Salam dan Ishtishna'



Bab I
Pendahuluan
Di dalam kehidupan nyata umat Islam, segala kegiatan ekonomi pada dewasa ini tidak lagi sama dengan kegiatan ekonomi yang menjadi urf pada zaman Rasulullah SAW masih hidup. Oleh sebab itu penafsiran dan pendapatdari para ahli fikih sangat diperlukan untuk keperluan kegiatan ekonomi yang semakin hari semakin canggih dan sellau berubah tradisinya. Produk-produk hukum yang dapat mereka tafsirkan menjadi bekal bagi umat Islam untuk bermuamalah dengan tujuan agar umat Islam dapat mencapai falah.
Dewasa ini, jual beli secara pesanan (salam) dan pemesanan membuat barang (istishna’) menjadi suatu kebutuhan yang tak dapat lagi dielakkan. Hukum tentang hal itu telah ada sejak Rasulullah SAW masih hidup, akan tetapi seuai dengan tradisi yang ada saat itu. Sejalan dengan perkembangan zaman, maka tradisi dan teknologi pun berubah dan berkembang sehingga akad dalam jual beli yang seperti itu pun ikut berubah. Untuk itulah disini akan dibahas bagaimana hukum akad jual beli salam dan akad istishna’. Selain itu juga akan dibahas tentang hak khiyar bagi para pihak yang melakukan akad.
Adapun rumusan masalahnya sebagai berikut :
1.      Apa yang dimaksud dengan khiyar dan mana dalil hukumnya ?
2.      Apa saja pembagian khiyar ?
3.      Apa yang dimaksud dengan salam dan mana dalil hukumnya ?
4.      Apa saja rukun dan syarat akad salam ?
5.      Apa yang dimaksud dengan istishna’ dan mana dalil hukumnya ?
6.      Apa saja rukun dan syarat akad istishna’ ?



Bab II
Pembahasan
A.    Khiyar
1.      Pengertian Khiyar
Khiyar adalah hak bagi penjual dan pembeli untuk memilih meneruskan atau membatalkan jual beli. Hak khiyar ini ditetapkan dalam Islam untuk menjamin kerelaan dan kepuasan timbal balik pihak-pihak yang melakukan jual beli. Hak khiyar disyariatkan dalam Islam untuk menjaga agar jangan sampai terjadi perselisihan antar penjual dan pembeli.[1]

Dasar hukum khiyar ini antara lain[2] :

اِذَا تَبَايَعَ الرَّجُلَانِ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا بِالْخِيَارِ مَالَمْ يَتَفَرَّقَا ... (رواه البخاي و مسلم)

Artinya : Apabila dua orang melakukan akad jual beli, maka masing-masing pihak mempunyai hak pilih, selama keduanya belum berpisah badan... (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits di atas menjadi dasar untuk khiyar majelis, dimana kedua pihak berhak memutuskan jadi tidaknya jual beli selama mereka masih berada dalam majelis jual beli.

اَلْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ بَاعَ مِنْ اَخِيْهِ بَيْعًا وَ فِيْهِ عَيْبٌ إِلَّا بَيَّنَهُ لَهُ (رواه ابن ماجه)

Artinya : Sesama muslim bersaudara, tidak halal (boleh) bagi seorang muslim menjual barangnya kepada muslim yang lain, padahal barang itu terdapat cacat (aib). (HR. Ibnu Majah)

Hadits ini menjadi dasar untuk khiyar aib dimana pembeli berhak membatalkan jual beli jika ternyata terdapat cacat pada barang yang diketahui di kemudian hari.

مَنِ اشْتَرَى شَيْاً لَمْ يَرَهُ فَهُوَ بِالْخِيَارِ إِذَا رَآهُ (رواه الدارقطنى)

Artinya : Siapa yang membel sesuatu yang belum ia lihat, maka ia berhak khiyar apabila telah melihat barang itu. (HR. Daruquthni)

Hadits ini menjadi dasar untuk khiyar ru’yah yang akan di bahas pada subjudul berikutnya.

2.      Macam-macam Khiyar
a.       Khiyar Majlis
Khiyar majlis adalah kedua belah pihak yang melakukan akad berhak untuk meneruskan atau membatalkan akad jual-beli selama masih berada dalam satu majlis (tempat) atau toko.
Menurut ulama Mazhab Syafi’i dan Hanbali, bahwa masing-masing pihak berhak mempunyai khiyar selama masih berada dalam satu majlis, sekalipun sudah terjadi ijab dan kabul. Berbeda dengan Mazhab Hanafi dan Maliki, bahwa suatu akad telah dipandang sempurna bila telah terjadi ijba dan kabul. Ijab dan kabul itu terjadi setelah ada kesepakatan dan saling suka sama suka.[3]

b.      Khiyar Syarath
Khiyar syarath ialah yang ditetapkan bagi salah satu pihak yang berakad atau keduanya, apakah meneruskan atau membatalkan akad itu selama dalam tenggang waktu yang disepakati bersama. Para ulama fikih sependapat mengatakan bahwa khiyar syarat ini diperbolehkan untuk menjaga (memelihara) hak pembeli dari unsur penipuan yang mungkin terjadi dari pihak penjual.

c.       Khiyar Aib
Khiyar aib ialah ada hak pilih dari kedua belah pihak yang melakukan akad, apabila terdapat suatu cacat pada benda yang diperjualbelikan dan cacat itu tidak diketahui pemiliknya pada saat akad berlangsung. Umpamanya, seseorang membeli telur ayam beberapa kilo. Setelah dipecahkan ada yang busuk atau sudah menjadi anak.[4] Dalam kasus seperti ini, ada hak khiyar bagi pembeli. Juga ada khiyar bagi penjual jika ternyata terdapat cacat pada uang yang diberikan pembeli.[5]
Seorang muslim yang benar, tidak boleh menyembunyikan aib yang ada pada barang yang akan dijualnya. Pihak pembeli pun harus cermat memilih barang yang akan dibelinya. Sebab pada zaman sekarang ini pada umumnya para penjual barang di toko-toko membuat catatan, bahwa barang yang sudah dibeli, tidak dapat dikembalikan atau ditukar lagi. Secara langsung atau tidak, bahwa catatan itu telah disetujui  pada saat akad terjadi.

d.      Khiyar Ru’yah
Khiyar Ru’yah adalah ada hak pilih bagi pembeli untuk menyatakan berlaku batal jual beli yang ia lakukan terhadap suatu objek yang belum ia lihat pada saat akad berlangsung.
Jumhur Ulama (Hanafiah, Malikiah, Hanbilah dan Zahiriyah) menyatakan bahwa khiyar ru’yah disyariatkan dalam Islam sebagaiman yang disebutkan dalam hadits di atas. Ulama Syafi’iyah di dalam pendapat baru mengatakan bahwa jual beli barang yang gaib tidak sah, baik disebut sifatnya meupun tidak. Menurut mereka, khiyar ru’yah tidak berlaku karena ada mengandung unsur penipuan.[6]
Khiyar itu dapat dibicarakan antara penjual dan pembeli, seperti khiyar sifat. Apabila sifat-sifat yang telah disepakati bersama dalam suatu akad, tidak sesuai pada saat menerima barang, maka hak khiyar ada pada pembeli, apakah akad itu diteruskan atau tidak, atau dapat diganti kembali sesuai dengan sifat-sifat yang telah disepakati terdahulu.

B.     Salam
1.      Pengertian Salam
Salam / salaf merupakan salah satu bentuk jual beli yang disyariatkan dalam Islam. Bentuk jual beli ini berbeda dengan jual beli biasa dimana uang dan barang dapat langsung bertukar. Tetapi dalam jual beli salam, hal tersebut tidak dapat terjadi karena barang tersebut masih ditangguhkan untuk waktu yang disepakati oleh para pihak. Para ulama sepakat tentang keabsahan jual beli salam.[7]
Secara teminologi, salam berarti menjual suatu barang yang penyerahannya ditunda, atau menjual suatu barang yang ciri-cirinya disebutkan dengan jelas dengan pembayaran modal terlebih dahulu, sedangkan barangnya diserahkan kemudian hari.[8]
Sebagai contoh pada zaman sekarang, ada orang memesan mobil merk tertentu dan menyebutkan sifat-sifatnya, dengan membayar uang muka terlebih dahulu dan mobilnya diserahkan belakangan dalam waktu tertentu sesuai perjanjian.
Menurut Fathi ad-Duraini, praktek jual beli salam di dunia modern pada saat ini semakin berkembang, khususnya antar negara (ekspor impor). Biasanya pihak produsen menawarkan barangnya dengan contoh barang yang akan dijual.
Salam diperbolehkan oleh Rasulullah SAW dengan syarat yang harus dipenuhi. Pada mulanya tujuan utama dari jual beli salam adalah untuk memenuhi kebutuhan para petani kecil yang memerlukan modal untuk memulai masa tanam dan untuk menghidupi keluarganya sampai masa waktu panen tiba. Setelah pelanggaran riba, mereka tidak dapat lagi mengambil pinjaman ribawi untuk keperluan ini sehingga diperbolehkan bagi mereka untuk menjual produk pertaniannya di muka. Salam bermanfaat bagi penjual karena mereka menerima pembayaran di muka. Salam juga bermanfaat bagi pembeli karena pada umumnya harga dengan akad salam lebih murah daripada harga dengan akad tunai.[9]

Dasar hukum salam terdapat dalam Al-Quran surah Albaqarah ayat 282 yang artinya :

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan hendaklah kamu mnuliskannya..

Dan juga terdapat dalam hadits :
مَنْ اَسْلَفَ فِيْ شَيئ فليسف في كيل معلوم و وزن معلوم إلى أجل ملوم (رواه البخارى و مسلم)
Artinya : Siapa saja yang melakukan jual beli salam, maka lakukanlah dalam ukuran takaran tertentu, timbangan tertentu dan waktu tertentu. (HR. Bukhari dan Muslim).

2.      Rukun dan Syarat Salam
Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa rukun salam hanya ijab kabul saja. Sedangkan mengenai syarat, kalangan ulama Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa harga harus diserahterimakan dalam majelis akad dan menangguhkan objek akad. Bagi ulama Malikiyah, harga tidak harus diserahterimakan dalam majelis, harga dapat diserahtrimakan kapan saja asal disepakati dan dipahami kedua pihak yang berakad.[10]

Rukun salam menurut jumhur ulama selain Hanafiyah yaitu[11] :
a.       Orang yang berakad (muslam-pembeli dan muslam ilaih-penjual)
b.      Barang yang dipesan (muslam fih)
c.       Ijab dan kabul (sighat)

Syarat-syarat sahnya akad salam yaitu[12] :
a.       Pembeli harus membayar penuh barang yang dipesan pada saat akad salam ditandatangani. Hal ini diperlukan karena jika pembayaran belum penuh, maka akan terjadi penjualan utang dengan utang yang secara eksplisit dilarang. Selain itu, hikmah dibolehkannya salam adalah untuk memenuhi kebutuhan segera dari penjual. Jika harga tidak dibayar penuh oleh pembeli, tujuan dasar dari akad ini tidak terpenuhi. Oleh karena itu, semua ahli hukum Islam sepakat bahwa pembayaran penuh di muka pada akad salam adalah perlu.
b.      Saam hanya bolh digunaan untuk jual beli komoditas yang kualitas dan kuantitasnya dapat ditentukan dengan tepat. Komoditas yang tidak dapat ditentukan kualitas dan kuantitasnya tidak dapat dijual dengan akad salam. Contoh : batu mulia tidak boleh diperjualbelikan dengan akad salam karena setiap batu mulia pada umumnya berbeda dengan yang lainnya dalam hal kualitas atau ukuran atau dalam berat, dan spesifikasi tepatnya umumnya sulit ditentukan.
c.       Salam tidak dapat dilakukan untuk jual beli komoditas tertentu atau produk dari lahan pertanian atau peternakan tertentu. Contoh : jika penjual bermaksud memasok gandum dari lahan tertentu atau buah dari pohon tertentu, akad salam tidak sah karena ada kemungkinan bahwa hasil panen dari lahan tertentu atau buah dari pohon tertentu rusak sebelum waku penyerahan.
d.      Kualitas dari komoditas yang akan dijual denga akad salam perlu mempunyai spesifikasi yang jelas tanpa keraguan yang dapat menimbulkan perselisihan. Semua yang dapat dirinci harus disebutkan secara eksplisit.
e.       Ukuran kuantitas dari komoditas perlu disepakati dengan tegas. Jika komoditas tersebut dikuantifikasi dengan berat sesuai kebiasaan dalam perdagangan, beratnya harus ditimbang, dan jika biasa dikuantifikasi dengan diukur, ukuran pastinya harus diketahui.
f.       Tanggal dan tempat penyerahan barang yang pasti harus ditetapkan dalam kontrak.
g.      Salam tidak dapat diakukan untuk barang-barang yang harus diserahkan langsung. Contoh : jika emas yang dibeli ditukar dengan perak, sesuai dengan syari'ah, penyerahan kedua barang harus dilakukan bersamaan. Sama halnya jika terigu dibarter dengan gandum, penyerahan bersamaan keduanya perlu dilakukan agar jual beli sah secara syari'ah, sehingga akad salam tidak dapat digunakan.

Dalam salam tidak dikenal khiyar syarat, artinya kalau barangnya sudah ada dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan lantas tidak cocok akan dikembalikan. Barang yang sudah sesuai dengan ketentuan harus diterima.[13]

Ada beberapa perbedaan pendapat di kalangan ahli fikih mengenai syarat sah salam, antara lain sebagai berikut :
a.       Menurut mazhab Hanafi, komoditas yang akan dijual dengan akad salam tetap tersedia di pasar semenjak akad efektif sampai saat penyerahan. Jika komoditas tersebut tidak tersedia di pasar pada saat akad efektif, salam tidak dapat dilakukan meskipun diperkirakan komoditas tersebut akan tersedia di pasar pada saat penyerahan. Namun ketiga mazhab yang lain berpendapat bahwa katersediaan komoditas pada saat akad efektif bukan merupakan syarat sahnya akad salam. Yang penting bahwa komoditas tersebut tersedia pada saat penyerahan.
b.      Menurut mazhab Hanafi dan Hanbali, waktu penyerahan minimal satu bulan dari tanggal efektif. Jika waktu penyerahan ditetapkan kurang dari satu bulan, maka akad salam tidak sah. Imam Malik mendukung pendapat bahwa harus ada jangka waktu minimum tertentu dalam akad salam. Namun, beliau berpendapat bahwa jangka waktunay tidak kurangd dari 15 hari. Pendapat ini ditentang oleh beberapa ahli hukum fikih yang lain, seperti Imam Syafi’i dan beberapa ulama Hanafi. Mereka mengatakan baha Rasulullah SAW tidak menetapkan periode minimum sebagai syarat sahnya akad salam. Satu-satunya syarat yang disebutkan dalam hadits adalah bahwa waktu penyerahan harus ditetapkan secara tegas sehingga tidak boeh ada batas waktu minimum.

C.    Istishna’
1.      Pengertian Istishna’
Istishna’ berasal dari kata sana’a yang secara bahasa berarti membuat, manufaktur, atau membuat sesuatu. Pengertian secara kebahasaan di atas dapat dinyatakan sejalan bahwa Istishna’ adalah kontrak yang bersifat pesanan terhadap sesuatu objek yang dikehendaki oleh pihak pertama dan kesediaan pihak kedua untuk menerima pesanan tersebut. Dalil hukum Istishna’ yaitu sabda Nabi saat memesan cincin pada perajin cincin :

اِسْتِصْنَاء خَتَمًا لِنَفْسِهِ
Artinya: Buatkan cincin untukku.

Istishna’ adalah sebuah akad jual beli keahlian yang dimiliki seseorang kepada orang lain yang ingin memanfaatkan keahlian yang dimilikinya tersebut dengan memesan benda yang akan dibuatkan sesuai dengan keahlian yang dimilikinya dengan spesifikasi benda dan harga yang ditentukan secara jelas dan dipahami kedua belah pihak. Lebih lanjut, Wahbah Az-Zuhaili menyatakan bahwa Istishna’ adalah permintaan (pesanan) dari pihak pemesan tentang sesuatu yang khusus dan dikerjakan dengan cara khusus. [14]
Mazhab Fikih yang membolehkan jual beli ini adalah mazhab Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah sedangkan mazhab Syafi’iyah, Zufar dan sebagian Hanafiyah tidak membolehkannya. Namun, begi mereka, yang membolehkannya ialah pemesan memerlukan barang tersebut dan pengrajin mampu membuatnya. Keberatan ulama yang menolak jual beli ini adalah karena objek akadnya tidak diketahui secara jelas.

2.      Rukun dan Syarat Istishna’
Rukun akad istishna’ yaitu[15] :
a.       Mustashni (pembeli) dan shani’ (penjual)
b.      Objek akad (mashnu’)
c.       Sighat
Akad istishna’ merupakan akad yang dikembangkan ulama mazhab Hanafi dan selanjutnya dikembangkan ulama kontemporer. Pembahasannya selallu beriringan dengan salam. Karena itu persyaratannya secara umum juga sama.[16]


Namun terdapat beberapa perbedaan, antara lain[17] :
a.       Objek istishna’ selalu barang yang harus diproduksi, sedangkan objek salam bisa untuk barang apa saja, baik harus diproduksi lebih dahulu maupun tidak diprodusi lebih dahulu.
b.      Harga dalam akad salam harus dibayar penuh di muka, sedangkan harga dlam akad istishna’ tidak harus dibayar penuh di muka, melainkan juga dapat dicicil atau dibayar di belakang.
c.       Akad salam efektif tidak dapat diutuskan secara sepihak, sementara dalam istishna’ akad dapat diputuskan sebelum perusahaan mulai memproduksi.
d.      Waktu penyerahan tertentu mrupakan bagian penting dari akad salam, namun dalam akad istishna’ tidak merupakan keharusan.
Meskipun waktu penyerahan tidak harus ditentukan dalam akad istishna’, pembeli dapat menetapkan waktu penyerahan maksimum yang berarti bahwa jika perusahaan terlambat memenuhinya, pembeli tidak terikat untuk menerima barang dan membayar harganya. Namun demikian, harga dalam akad istishna’ dapat dikaitkan dengan waktu penyerahan. Jadi, boleh disepakati bahwa apabila terjadi keterlambatan penyerahan harga dapat dipotong sejumlah tertentu pada hari keterlambatan.
Ulama Hanafiyah berpendapat, objek akad haruslah benda yang biasa dipakai dalam kebiasaan pembuatannya harus melalui pesanan, seperti memsan kendaraan, pakaian, perabot rumah tangga. Contoh : dilarang memesan kain untuk dijahitkan, karena kondisi pada masa itu kain masih dijahit sendiri dan bukan kebiasaan yang umum untuk dipesan sehingga dilarang. Akan tetapi kebiasaan ini sekarang bukan lagi terlarang, malah telah menjadi kebutuhan bagi semua orang.
Selain itu, akda yang dilakukan dengan seseorang untuk membuatkan sesuatu tetapi orang tersebut membawanya kepada orang lain untuk membuatkannya. Dalam konsep akad istishna’, pihak pertama melakukan akad istishna’ dengan pihak kedua dan tidak mungkin pihak kedua memesan lagi kepada pihak ketiga. Kondisi modern menghendaki hal tersebut terjadi dan mungkin sukar bagi pihak pertama untuk mengontrolnya atau bahkan hal tersebut telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat kontemporer seperti istilah distributor atau dealer menadi demikian berperan dalam sirkulasi barang.[18]

 


[1] Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqih, (Jakarta : Kencana, 2003). Halaman 213.
[2] M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004). Halaman 139.
[3] Ibid., Halaman 139.
[4] Ibid,.
[5] Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqih,...Halaman  214.
[6] M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam,... Halaman 141.
[7] Ridwan Nurdin, Fiqh Muamalah, (Banda Aceh : PeNa, 2010). Halaman 74.
[8] M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam,... Halaman 143.
[9] Ascarya, Akad dan Produk Bank Syari'ah, (Jakarta : Rajawali Pers, 2013). Halaman 90.
[10] Ridwan Nurdin, Fiqh Muamalah,... Halaman 75.
[11] M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam,... Halaman 145.
[12] Ascarya, Akad dan Produk Bank Syari'ah...Halaman 92.
[13] Abdul Fatah Idris dan Abu Ahmadi, Fikih Islam Lengkap, (Jakarta : PT Asdi Mahasatya, 2004). Halaman 162.
[14] Ridwan Nurdin, Fiqh Muamalah,... Halaman 77.
[15] Ascarya, Akad dan Produk Bank Syari'ah...Halaman 97.
[16] Ridwan Nurdin, Fiqh Muamalah,... Halaman 78.
[17] Ascarya, Akad dan Produk Bank Syari'ah...Halaman 98.
[18] Ridwan Nurdin, Fiqh Muamalah,... Halaman 80.

No comments:

Post a Comment