Makalah
Tafsir Ahkam
Tafsir
Ayat-Ayat Tentang Shalat
Disusun
oleh : Kelompok 2
Nama : Fachruddin Ar-Razi
Ridwan Gunawan
Saiful Maulana
Semester/Unit : IV / 3
Fakultas Syari'ah Jurusan Muamalah
Institut Agama Islam Negeri
Zawiyah Cot Kala Langsa
2015
Bab
I
Pendahuluan
Sebagai seorang muslim yang telah mengucap dua kalimah syahadat dan
memahami maknanya serta mengimani rukun iman, maka langkah selanjutnya yang
harus ditempuh seorang muslim adalah shalat. Shalat adalah tiang agama yang
harus ditegakkan karena seluruh amal diibaratkan seperti dinding dan atap yang
takkan tesusun tanpa adanya tiang.
Untuk melakukan setiap amal maka seseorang harus mempunyai ilmu
tentang apa yang diperbuatnya, karena tidak akan diterima setiap amalan seseorang
yang ia tidak memiliki ilmu tentang itu. Demikian pula dengan shalat, untuk
melakukan shalat maka seseorang harus tahu apa hukum shalat, bagaimana caranya,
apa rukun, syarat dan sunnahnya, hal-hal yang membatalkannya dan semua hal-hal
yang berkaitan dengan praktik shalat. Dalam hal pewajiban shalat, Allah
berfirman dalam Al-Quran bahwa shalat itu adalah wajib bagi setiap muslim.
Berikut akan dijelaskan penafsiran ayat-ayat yang berhubungan dengan shalat
yaitu Al-Isra’ : 78, Hud : 114,
Al-Baqarah : 238-239, An-Nisa : 101-103, dan Al-Jumu’ah : 9-11.
Beberapa rumusan masalah untuk ayat-ayat tersebut antara lain :
1.
Bagaimana
penafsiran terhadap kosa kata kunci pada ayat tersebut ?
2.
Apa
saja pokok kandungan ayatnya ?
3.
Bagaimana
Asbabun Nuzul ayat-ayat itu ?
4.
Bagaimana
hubungan ayat itu dengan ayat lain atau dengan hadits ?
Bab
II
Pembahasan
A.
Q. S. Al-Isra : 78
اَقِمِ الصَّلٰوةَ لِدُلُوْكِ الشَّمْسِ اِلٰى
غَسَقِ الَّيْلِ وَ قُرْاٰنَ الْفَجْرِۗ اِنَّ قُرْاٰنَ الْفَجْرِ كَانَ
مَشْهُوْدًا
Artinya : Dirikanlah shalat dari sesudah
matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) shubuh.
Sesungguhnya shalat shubuh itu disaksikan (oleh malaikat).
Tafsir Mufradat
دُلُوْكُ
الشَّمْس : Tergelincirnya
matahari
غَسَقُ
الَّيْلِ : Kegelapan malam
yang pekat
قُرْاٰنُ الْفَجْر : Shalat
shubuh
Penafsiran Ayat
Ayat ini menjelaskan tentang waktu-waktu shalat wajib. Tegasnya
dirikanlah sembahyang lima waktu sejak tergelincir matahari yaitu permulaan
waktu zuhur dan matahari itu sesudah tergelincir di tengah hari dari
pertengahan siang akan condong terus ke Barat sampai dia terbenam. Oleh sebab
itu dalam kata “tergelincir matahari” termasuklah Zuhur dan Ashar, sampai ke
gelap gulita malam. Artinya apabila matahari telah terbenam ke ufuk Barat, datanglah
waktu Maghrib. Bertambah matahari terbenam ke balik bumi hilanglah syafaq
yang merah, maka seketika itu masuklah waktu Isya. [1]
Kemudian disebutkanlah Quranul Fajri yang secara harfiah
berarti bacaan di waktu fajar, tetapi karena ayat ini berbicara dalam konteks
kewajiban shalat, maka semua penafsir Sunnah/Syi’ah menyatakan bahwa yang
dimaksud adalah shalat Shubuh. Penggunaan istilah khusus ini untuk shalat fajar
karena ia mempunyai keistimewaan tersendiri, yaitu disaksikan malaikat.[2]
Sebagaimana sabda Rasul SAW : “Shalat shubuh itu disaksikan oleh para
malaikat malam dan para malaikat siang” (H.R.Tirmidzi).[3]
Shalat Shubuh disebut dengan Quranul Fajri karena, di waktu Shubuh
hening pagi itu dianjurkan membaca ayat-ayat Al-Quran agak panjang dari waktu lain.[4]
Pokok Kandungan Ayat :
-
Perintah
untuk mendirikan shalat lima waktu
-
Petunjuk
waktu-waktu shalat wajib
-
Informasi
bahwa keutamaan shalat shubuh itu disaksikan malaikat siang dan malaikat malam.
B.
Q. S. Hud : 114
وَ
اَقِمِ الصَّلٰوةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَ زُلَفًا مِّنَ الَّيْلِ ۗ اِنَّ
الْحَسَنٰتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّاٰتِ ۗ ذٰلِكَ ذِكْرٰى لِلذَّاكِرِيْن ۞
Artinya : Dan
dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada
bagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan baik itu
menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi
orang-orang yang ingat.
Tafsir Mufradat
زُلَفًا مِّنَ
الَّيْلِ : bagian dari
awal malam
طَرَفَيِ
النَّهَارِ : tepi siang, maksudnya Shubuh dan Ashar
Penafsiran Ayat
Ayat ini mengajarkan laksanakanlah shalat dengan teratur dan benar
sesuai dengan ketentuan , rukun, syarat, dan sunnah-sunnahnya pada kedua tepi
siang, yakni apgi dan petang, atau Shubuh dan Zuhur dan Ashar (diriwayatkan
dari Al-Hasan Qatadah dan Ad-Dahak, bahwa yang dimaksud ialah shalat Shubuh dan
Ashar[5],
pendapat lain mengatakan bahwa yang dimaksud dua tepi siang adalah shalat
Shubuh dan Zuhur, Ashar, Maghrib[6]) dan
pada bagian permulaan dari malam yaitu Maghrib dan Isya.[7]
Kata zulafan adalah bentuk jamak dari kata zulfah
yaitu waktu-waktu yang saling berdekatan. Tsa’labi mengatakan bahwa arti zulafan
ialah permulaan malam. Al-Akhfasy mengatakan arti zulafan ialah
seluruh saat-saat malam, tetapi beliau mengakui asal makna dari zulafan adalah
dekat. Memanglah Maghrib dan Isya itu masih permulaan dari malam.[8]
Innal hasanata yudzhibnas sayyiaat ditafsirkan yakni perbuatan-perbuatan baik yang didasari oleh
keimanan dan ketulusan akan dapat membentengi diri seseorang sehingga dengan
mudah ia dapat terhindar dari keburukan-keburukan. Selain itu juga dapat
ditafsirkan bahwa Allah SWT mengampuni dosa-dosa kecil apabila seseorang telah
mengerjakan amal-amal shaleh.[9] Sebagaimana
yang tertuang dalam Q. S .An-Nisa : 31 yang artinya “Jika kamu menjauhi
dosa-dosa besar diantara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya
Kami hapus kesalahan-kesalahanmu, dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia”.
Juga seperti yang disabdakan Rasul : “Dan iringilah keburukan dengan
kebaikan, sesungguhna kebaikan itu menghapus keburukan”.[10]
Al-hasanat ada yang
memahaminya secara khusus yakni shalat dan istighfar, tetapi pendapat yang
lebih baik adalah yang memahaminya secara umum, yaitu seluruh kebajikan. Namun
demikian kata sayyiaat harus dipahami dalam bentuk khusus yakni,
keburukan (dosa) kecil.[11]
Pokok Kandungan Ayat :
-
Perintah
mendirikan shalat wajib dan petunjuk waktu-waktunya
-
Perintah
untuk selalu berbuat baik karena dapat menghapus dosa
Asbabun Nuzul :
Seorang laki-laki telah melakukan dosa dengan memegang-megang
wanita dengan nafsu birahi saat dia
sedang mengobati wanita itu. Lalu ia merasa bersalah dan mengadukan hal itu
pada Umar dan Abu Bakar, dan mereka berdua menasihati bahwa hal tersebut
dirahasiakan saja, sebab Allah pun telah menutup rahasia itu. Namun karena masi
merasa bersalah, lalu ia datang kepada Rasul seraya berkata : ”Itulah
kesalahanku yang aku telah terlanjur melakukannya. Inilah aku ya Rasulullah !
Hukumah aku bagaimana baiknya !”. Namun Rasul diam saja sehingga laki-laki
itu pergi dengan muka muram. Kemudian Rasulullah mengikutinya dan dipanggilnya
kembali laki-laki itu, lalu membacakan ayat ini.[12]
C.
Q. S. Al-Baqarah : 238-239
حَافِظُوْا عَلَى
الصَّلَوَاتِ وَ الصَّلٰوةِ الْوُصْطٰى وَ قُوْمُوْا لِلّٰهِ قٰنِتِيْنَ ۞ فَاِنْ
خِفْتُمْ فَرِجَالًا اَوْ رُكْبَانًا ۚ فَاِذَآ اَمِنْتُمْ فَاذْكُرُوا اللهَ
كَمَا عَلَّمَكُمْ مَّا لَمْ تَكُوْنُوْا تَعْلَمُوْنَ ۞
Artinya : (238). Peliharalah segala shalat(mu), dan
(peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan
khusyuk. (239). Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil
berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah
Allah (shalatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang
belum kamu ketahui.
Tafsir Mufradat :
حَافِظُوْا : melaksanakan shalat
dari waktu ke waktu dengan memenuhi segala syarat dan rukunnya
فَرِجَالً : maka
berjalanlah
رُكْبَانًا : berkendara
Asbabun Nuzul :
Zaid Ibnu Arqam menceritakan : Kami (para sahabat) sering
berkata-kata dalam shalat, dimana seorang dari kami berbicara kepada kawannya
yang berada di sampingnya dalam keadaan melaksanakan shalat sehingga turunlah
ayat ini. Kemudian Nabi SAW memerintahkan kami agar berlaku tenang dan melarang
kami berbicara. (H.R. Ahmad, Bukhari dan Muslim).[13]
Pokok Kandungan dan Hukum dalam Ayat :
-
Perintah
memelihara shalat wajib secara teratur
-
Perintah
melakukan shalat dengan khusyu’,
Sebagaimana
disabdakan Rasul SAW : “Sembahlah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, dan
jikka engkau tidak bisa melihat-Nya maka sesungguhnya Allah melihatmu”.
-
Mengindikasikan
bahwa shalat tidak boleh ditinggalkan dalam keadaan apapun meskipun dalam
keadaan berperang dan dihukumkan boleh shalat dengan cara berjalan atau
berkendara jika dalam keadaan bahaya, namun keringanan itu hilang seiring dengan
hilangnya sebab.
Ayat ini diapit oleh ayat-ayat yang membicarakan tetang pernikahan,
talak, cerai, iddah, ruju’ serta nafkah sehingga menimbulkan kebingungan karena
munculnya ayat tentang shalat secara tiba-tiba. Tentang ini Sayyid Quthub
berkomentar : “Ketentuan-ketentuan yang diceritakan Allah sebelum ayat ini,
semuanya disatukan oleh ibadah kepada Allah. Ibadah kepada-Nya dalam
perkawinan, ibadah kepadanya dalam hubungan seks dan meneruskan keturunan,
ibadah kepada-Nya dalam merujuk isteri atau menceraikan dengan baik sehingga
dapat dipahami bahwa ketentuan-ketentuan itu serupa dengan shalat dari segi
ketaatan kepada Allah SWT.”[14]
D.
Q. S. An-Nisa : 101-103
Artinya : (101). Dan apabila kamu berpergian di muka bumi, maka
tidaklah mengapa kamu mengqashar sembayang(mu), jika kamu takut diserang
orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu musuh yang nyata bagimu.
Penafsiran :
Ayat ini merupakan dasar tentang bolehnya mengqashar shalat dalam
perjalanan baik dalam keadaan takut maupun tidak. Sebagaimana yang disabdakan
Rasul saat ditanyai tentang mengqashar shalat jika tidak dalam keadaan takut :
“Itu adalah sedekah yang disedekahkan
Allah kepada kamu. Maka, terimalah sedekah-Nya” (HR. Muslim, Tirmidzi,
Nasa’i dan lain-lain). Sedang yang menjadi syarat adalah jarak dan waktu tempuh
musafir. Mazhab Syafi’i dan Maliki menilai bahwa jaraknya lebih dari 77 km,
sedang mazhab Hanbali berpendapat 115 km. Mazhab Syafi’i, Maliki dan Hanbali
berpendapat bahwa seseorang tidak lagi dinamai musafir jika berniat tinggal
selama empat hari atau lebih di tempat tujuannya, sedangkan Hanafi membolehkan
sampai 15 hari.[15]
Artinya : (102). Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka
(sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka
hendaklah segolongan dari mereka (shalat) besertamu dan menyandang senjata,
kemdian apabila mereka (yang shalat bersama mu) sujud (telah menyempurnakan
serakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi
musuh) dan hendaklah datang golongan kedua yang belum bersembahyang, lalu
bersembahyanglah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan
menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap
senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. Dan
tidak ada dosa atasmu meletakkan senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu
kesusahan karena hujan atau karena kamu memang sakit; dan siap siagalah kamu.
Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang
kafir itu.
Penafsiran Ayat :
Ayat ini berisi tentang cara shalat dalam situasi bahaya. Mayoritas
ulama berpendapat bahwa imam melaksanakan shalat dengan setiap kelompok satu
rakaat, tetapi mereka berbeda pendapat tentang cara pembagiannya, serta kapan
imam salam.
Artinya : (103). Maka apabila kamu telah meyelesaikan
shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu
berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu
(sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan
waktunya atas orang-orang yang beriman.
Penafsiran Ayat :
Ayat ini mewajibkan untuk selalu mengingat Allah SWT setiap saat
dalam segala keadaan, bahkan saat duduk, berdiri ataupun berbaring. Kata mauquutan
ditafsirkan bahwa setiap shalat mempunyai waktu dalam arti ada masa ketika
orang harus menyelesaikannya. Ada juga memahami kata ini dalam arti kewajiban
yang bersinambung dan tidak berubah sehingga firman-Nya melukiskan shalat
sebagai kitaaban mauquutan berarti shalat adalah kewajiban yang tidak
berubah, selalu harus dilaksanakan, dan tidak pernah gugur apapun sebabnya.[16]
E.
Q. S. Al-Jumu’ah : 9-11
Artinya : (9). Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru
untuk shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah
dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui. (10). Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah
kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak
supaya kamu beruntung. (11). Dan apabila mereka melihat perniagaan atau
pemainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang
berdiri (berkhutbah). Katakanlah : “Apa yang di sisi Allah adalah lebih baik
daripada permainan dan perniagaan”, dan Allah sebaik-baik Pemberi rezeki.
Penafsiran Ayat :
Seruan untuk shalat yang dimaksud di atas dan yang mengharuskan
dihentikannya segala kegiatan adalah azan yang dikumandangkan saat khatib naik
mimbar.[17] Adapun
orang-orang yang diwajibkan pergi shalat Jum’at ialah orang-orang yang berada
dalam batas kota enam mil (menurut Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, dan Abu
Hurairah). Menurut Rabi’ah batas empat mil. Menurut Imam Malik dan Laits batas
tiga mil. Menurut Imam Syafi’i ukurannya ialah seorang muazzin yang amat
lantang suaranya dan angin tenang dan muazzin itu berdiri di atas dinding kota.
Akan tetapi melihat perbuatan sahabat-sahabat Rasul, nyatalah bahwa mereka
sejak pagi jari telah bersiap pergi ke mesjid tanpa menunggu suara azan
terlebih dahulu. Degnan demikian dapatlah kita fahamkan bahwa terdengar atau
tidaknya seruan azan, wajiblah menghadiri shalat Jum’at, karena seruan itu
telah ada langsung dari Allah SWT.[18]
Kata dzikrullah yang dimaksud adalah shalat dan khutbah.
Kata fas’au pada mulanya berarti berjalan cepat. Akan tetapi bukan itu yang dimaksud karena
beliau telah bersabda : “Apabila shalat telah segera akan dilaksanakan,
janganlah kamu kesana dengan berjalan cepat tetapi hadirilah dengan tenang.”.
[19] Wa
dzarul bai’ berarti bagi orang yang
sedang bermuamalah haruslah meninggalkannya dan segera pergi shalat Jum’at
meski harus menunda mua’malah itu. Rasul bersabda : “Barangsiapa yang
meninggalkan Jum’at taiga kali berturut-turut dengan memandang enteng, akan
dicap Allah atas hatinya”.[20]
Bab
III
Penutup
Simpulan
Dari penjelasan di atas dapatlah dirangkum beberapa poin, yaitu :
-
Shalat
wajib lima waktu telah ditentukan waktu pelaksanaannya dalam Al-Quran, begitu
pula shalat Jum’at
-
Keringanan-keringanan
melakukan shalat dalam keadaan tertentu mengindikasikan bahwa shalat tidak
boleh ditinggalkan dengan alasan apapun
-
Muslim
diperintahkan untuk mendirikan shalat dengan khusyu’ dan sesuai aturan bukan
sekedar mengerjakannya
-
Shalat
Shubuh adalah shalat yang utama sebab disaksikan oleh malaikat siang dan
malaikat malam
-
Mendirikan
shalat dapat menghapuskan setiap dosa kecil yang dilakukan, karena kebaikan
dapat menghapus keburukan
-
Inti
dari shalat adalah mengingat Allah SWT dengan penyerahan hati setulus-tulusnya
kepada Allah agar kita menjadi orang-orang yang beruntung.
Daftar Pustaka
Al-Maraghi, Ahmad Mustafa, Tafsir Al-Maraghi, (Mesir :
Mustafa Al-Babi Al-Halabi, 1974).
Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Singapura : Kejaya Pnont Pte Ltd,
2007).
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta : Lentera
Hati, 2001).
[1] Hamka, Tafsir
Al-Azhar, (Singapura : Kejaya Pnont Pte Ltd, 2007). Halaman 4100.
[2] M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta : Lentera Hati, 2001). Halaman 165.
[3] Ahmad Mustafa
Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Mesir : Mustafa Al-Babi Al-Halabi,
1974). Halaman 161.
[4] Hamka, Tafsir
Al-Azhar,...Halaman 4100.
[5] Ahmad Mustafa
Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi,...Halaman 184.
[6] M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Mishbah,...Halaman 773.
[7] Ibid,.
[8] Hamka, Tafsir
Al-Azhar,... Halaman 3562.
[9] M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Mishbah,...Halaman 774.
[10] Ahmad Mustafa
Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi,...Halaman 187.
[11] M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Mishbah,...Halaman 774.
[12] Hamka, Tafsir
Al-Azhar,... Halaman 3565.
[13] Ahmad Mustafa
Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi,...Halaman 145.
[14] M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Mishbah,...Halaman 625.
[15] Ibid...Halaman
690.
[16] Ibid,.
Halaman 693.
[17] M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Mishbah,...Halaman 59.
[18] Hamka, Tafsir
Al-Azhar,... Halaman 7374.
[19] M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Mishbah,...Halaman 60.
[20] Hamka, Tafsir
Al-Azhar,... Halaman 7375.
TERTPMA KASIH ,SEMOGA BERMANFAAT,MOHON IJIN YA SAYA KOPI
ReplyDeleteSemoga bisa diamalkan pak...
ReplyDeleteizin dimanfaatkan ilmunya mas, terima kasih:)
ReplyDeletediizinkan mas gus
ReplyDelete