Monday 16 March 2015

Tafsir Ayat-Ayat Tentang Shalat



Makalah Tafsir Ahkam
Tafsir Ayat-Ayat Tentang Shalat


Disusun oleh               : Kelompok 2
Nama                          : Fachruddin Ar-Razi
                                                  Ridwan Gunawan
                                                  Saiful Maulana
Semester/Unit : IV / 3






Fakultas Syari'ah Jurusan Muamalah
Institut Agama Islam Negeri
Zawiyah Cot Kala Langsa
2015

Bab I
Pendahuluan
Sebagai seorang muslim yang telah mengucap dua kalimah syahadat dan memahami maknanya serta mengimani rukun iman, maka langkah selanjutnya yang harus ditempuh seorang muslim adalah shalat. Shalat adalah tiang agama yang harus ditegakkan karena seluruh amal diibaratkan seperti dinding dan atap yang takkan tesusun tanpa adanya tiang.
Untuk melakukan setiap amal maka seseorang harus mempunyai ilmu tentang apa yang diperbuatnya, karena tidak akan diterima setiap amalan seseorang yang ia tidak memiliki ilmu tentang itu. Demikian pula dengan shalat, untuk melakukan shalat maka seseorang harus tahu apa hukum shalat, bagaimana caranya, apa rukun, syarat dan sunnahnya, hal-hal yang membatalkannya dan semua hal-hal yang berkaitan dengan praktik shalat. Dalam hal pewajiban shalat, Allah berfirman dalam Al-Quran bahwa shalat itu adalah wajib bagi setiap muslim. Berikut akan dijelaskan penafsiran ayat-ayat yang berhubungan dengan shalat yaitu Al-Isra’ : 78, Hud : 114,  Al-Baqarah : 238-239, An-Nisa : 101-103, dan Al-Jumu’ah : 9-11.
Beberapa rumusan masalah untuk ayat-ayat tersebut antara lain :
1.      Bagaimana penafsiran terhadap kosa kata kunci pada ayat tersebut ?
2.      Apa saja pokok kandungan ayatnya ?
3.      Bagaimana Asbabun Nuzul ayat-ayat itu ?
4.      Bagaimana hubungan ayat itu dengan ayat lain atau dengan hadits ?




Bab II
Pembahasan
A.    Q. S. Al-Isra : 78
اَقِمِ الصَّلٰوةَ لِدُلُوْكِ الشَّمْسِ اِلٰى غَسَقِ الَّيْلِ وَ قُرْاٰنَ الْفَجْرِۗ اِنَّ قُرْاٰنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُوْدًا
Artinya : Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) shubuh. Sesungguhnya shalat shubuh itu disaksikan (oleh malaikat).
Tafsir Mufradat
دُلُوْكُ الشَّمْس          : Tergelincirnya matahari
غَسَقُ الَّيْلِ             : Kegelapan malam yang pekat
قُرْاٰنُ الْفَجْر             : Shalat shubuh
Penafsiran Ayat
Ayat ini menjelaskan tentang waktu-waktu shalat wajib. Tegasnya dirikanlah sembahyang lima waktu sejak tergelincir matahari yaitu permulaan waktu zuhur dan matahari itu sesudah tergelincir di tengah hari dari pertengahan siang akan condong terus ke Barat sampai dia terbenam. Oleh sebab itu dalam kata “tergelincir matahari” termasuklah Zuhur dan Ashar, sampai ke gelap gulita malam. Artinya apabila matahari telah terbenam ke ufuk Barat, datanglah waktu Maghrib. Bertambah matahari terbenam ke balik bumi hilanglah syafaq yang merah, maka seketika itu masuklah waktu Isya. [1]
Kemudian disebutkanlah Quranul Fajri yang secara harfiah berarti bacaan di waktu fajar, tetapi karena ayat ini berbicara dalam konteks kewajiban shalat, maka semua penafsir Sunnah/Syi’ah menyatakan bahwa yang dimaksud adalah shalat Shubuh. Penggunaan istilah khusus ini untuk shalat fajar karena ia mempunyai keistimewaan tersendiri, yaitu disaksikan malaikat.[2] Sebagaimana sabda Rasul SAW : “Shalat shubuh itu disaksikan oleh para malaikat malam dan para malaikat siang” (H.R.Tirmidzi).[3]
Shalat Shubuh disebut dengan Quranul Fajri karena, di waktu Shubuh hening pagi itu dianjurkan membaca ayat-ayat Al-Quran  agak panjang dari waktu lain.[4]
Pokok Kandungan Ayat :
-          Perintah untuk mendirikan shalat lima waktu
-          Petunjuk waktu-waktu shalat wajib
-          Informasi bahwa keutamaan shalat shubuh itu disaksikan malaikat siang dan malaikat malam.

B.     Q. S. Hud : 114
وَ اَقِمِ الصَّلٰوةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَ زُلَفًا مِّنَ الَّيْلِ ۗ اِنَّ الْحَسَنٰتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّاٰتِ ۗ ذٰلِكَ ذِكْرٰى لِلذَّاكِرِيْن ۞
Artinya : Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.


Tafsir Mufradat
زُلَفًا مِّنَ الَّيْلِ           : bagian dari awal malam
طَرَفَيِ النَّهَارِ            : tepi siang, maksudnya Shubuh dan Ashar
Penafsiran Ayat
Ayat ini mengajarkan laksanakanlah shalat dengan teratur dan benar sesuai dengan ketentuan , rukun, syarat, dan sunnah-sunnahnya pada kedua tepi siang, yakni apgi dan petang, atau Shubuh dan Zuhur dan Ashar (diriwayatkan dari Al-Hasan Qatadah dan Ad-Dahak, bahwa yang dimaksud ialah shalat Shubuh dan Ashar[5], pendapat lain mengatakan bahwa yang dimaksud dua tepi siang adalah shalat Shubuh dan Zuhur, Ashar, Maghrib[6]) dan pada bagian permulaan dari malam yaitu Maghrib dan Isya.[7]
Kata zulafan adalah bentuk jamak dari kata zulfah yaitu waktu-waktu yang saling berdekatan. Tsa’labi mengatakan bahwa arti zulafan ialah permulaan malam. Al-Akhfasy mengatakan arti zulafan ialah seluruh saat-saat malam, tetapi beliau mengakui asal makna dari zulafan adalah dekat. Memanglah Maghrib dan Isya itu masih permulaan dari malam.[8]
Innal hasanata yudzhibnas sayyiaat ditafsirkan yakni perbuatan-perbuatan baik yang didasari oleh keimanan dan ketulusan akan dapat membentengi diri seseorang sehingga dengan mudah ia dapat terhindar dari keburukan-keburukan. Selain itu juga dapat ditafsirkan bahwa Allah SWT mengampuni dosa-dosa kecil apabila seseorang telah mengerjakan amal-amal shaleh.[9] Sebagaimana yang tertuang dalam Q. S .An-Nisa : 31 yang artinya “Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar diantara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu, dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia”. Juga seperti yang disabdakan Rasul : “Dan iringilah keburukan dengan kebaikan, sesungguhna kebaikan itu menghapus keburukan”.[10]
Al-hasanat ada yang memahaminya secara khusus yakni shalat dan istighfar, tetapi pendapat yang lebih baik adalah yang memahaminya secara umum, yaitu seluruh kebajikan. Namun demikian kata sayyiaat harus dipahami dalam bentuk khusus yakni, keburukan (dosa) kecil.[11]
Pokok Kandungan Ayat :
-          Perintah mendirikan shalat wajib dan petunjuk waktu-waktunya
-          Perintah untuk selalu berbuat baik karena dapat menghapus dosa
Asbabun Nuzul :
Seorang laki-laki telah melakukan dosa dengan memegang-megang wanita  dengan nafsu birahi saat dia sedang mengobati wanita itu. Lalu ia merasa bersalah dan mengadukan hal itu pada Umar dan Abu Bakar, dan mereka berdua menasihati bahwa hal tersebut dirahasiakan saja, sebab Allah pun telah menutup rahasia itu. Namun karena masi merasa bersalah, lalu ia datang kepada Rasul seraya berkata : ”Itulah kesalahanku yang aku telah terlanjur melakukannya. Inilah aku ya Rasulullah ! Hukumah aku bagaimana baiknya !”. Namun Rasul diam saja sehingga laki-laki itu pergi dengan muka muram. Kemudian Rasulullah mengikutinya dan dipanggilnya kembali laki-laki itu, lalu membacakan ayat ini.[12]

C.    Q. S. Al-Baqarah : 238-239
حَافِظُوْا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَ الصَّلٰوةِ الْوُصْطٰى وَ قُوْمُوْا لِلّٰهِ قٰنِتِيْنَ ۞ فَاِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالًا اَوْ رُكْبَانًا ۚ فَاِذَآ اَمِنْتُمْ فَاذْكُرُوا اللهَ كَمَا عَلَّمَكُمْ مَّا لَمْ تَكُوْنُوْا تَعْلَمُوْنَ ۞
Artinya : (238). Peliharalah segala shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyuk. (239). Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allah (shalatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.
Tafsir Mufradat :
حَافِظُوْا         : melaksanakan shalat dari waktu ke waktu dengan memenuhi segala syarat dan rukunnya
فَرِجَالً          : maka berjalanlah
رُكْبَانًا           : berkendara
Asbabun Nuzul :
Zaid Ibnu Arqam menceritakan : Kami (para sahabat) sering berkata-kata dalam shalat, dimana seorang dari kami berbicara kepada kawannya yang berada di sampingnya dalam keadaan melaksanakan shalat sehingga turunlah ayat ini. Kemudian Nabi SAW memerintahkan kami agar berlaku tenang dan melarang kami berbicara. (H.R. Ahmad, Bukhari dan Muslim).[13]
Pokok Kandungan dan Hukum dalam Ayat :
-          Perintah memelihara shalat wajib secara teratur
-          Perintah melakukan shalat dengan khusyu’,
Sebagaimana disabdakan Rasul SAW : “Sembahlah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, dan jikka engkau tidak bisa melihat-Nya maka sesungguhnya Allah melihatmu”.
-          Mengindikasikan bahwa shalat tidak boleh ditinggalkan dalam keadaan apapun meskipun dalam keadaan berperang dan dihukumkan boleh shalat dengan cara berjalan atau berkendara jika dalam keadaan bahaya, namun keringanan itu hilang seiring dengan hilangnya sebab.
Ayat ini diapit oleh ayat-ayat yang membicarakan tetang pernikahan, talak, cerai, iddah, ruju’ serta nafkah sehingga menimbulkan kebingungan karena munculnya ayat tentang shalat secara tiba-tiba. Tentang ini Sayyid Quthub berkomentar : “Ketentuan-ketentuan yang diceritakan Allah sebelum ayat ini, semuanya disatukan oleh ibadah kepada Allah. Ibadah kepada-Nya dalam perkawinan, ibadah kepadanya dalam hubungan seks dan meneruskan keturunan, ibadah kepada-Nya dalam merujuk isteri atau menceraikan dengan baik sehingga dapat dipahami bahwa ketentuan-ketentuan itu serupa dengan shalat dari segi ketaatan kepada Allah SWT.”[14]

D.    Q. S. An-Nisa : 101-103



Artinya : (101). Dan apabila kamu berpergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar sembayang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu musuh yang nyata bagimu.
Penafsiran :
Ayat ini merupakan dasar tentang bolehnya mengqashar shalat dalam perjalanan baik dalam keadaan takut maupun tidak. Sebagaimana yang disabdakan Rasul saat ditanyai tentang mengqashar shalat jika tidak dalam keadaan takut : “Itu adalah sedekah yang disedekahkan  Allah kepada kamu. Maka, terimalah sedekah-Nya” (HR. Muslim, Tirmidzi, Nasa’i dan lain-lain). Sedang yang menjadi syarat adalah jarak dan waktu tempuh musafir. Mazhab Syafi’i dan Maliki menilai bahwa jaraknya lebih dari 77 km, sedang mazhab Hanbali berpendapat 115 km. Mazhab Syafi’i, Maliki dan Hanbali berpendapat bahwa seseorang tidak lagi dinamai musafir jika berniat tinggal selama empat hari atau lebih di tempat tujuannya, sedangkan Hanafi membolehkan sampai 15 hari.[15]



Artinya : (102). Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemdian apabila mereka (yang shalat bersama mu) sujud (telah menyempurnakan serakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena kamu memang sakit; dan siap siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu.
Penafsiran Ayat :
Ayat ini berisi tentang cara shalat dalam situasi bahaya. Mayoritas ulama berpendapat bahwa imam melaksanakan shalat dengan setiap kelompok satu rakaat, tetapi mereka berbeda pendapat tentang cara pembagiannya, serta kapan imam salam.

Artinya : (103). Maka apabila kamu telah meyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.



Penafsiran Ayat :
Ayat ini mewajibkan untuk selalu mengingat Allah SWT setiap saat dalam segala keadaan, bahkan saat duduk, berdiri ataupun berbaring. Kata mauquutan ditafsirkan bahwa setiap shalat mempunyai waktu dalam arti ada masa ketika orang harus menyelesaikannya. Ada juga memahami kata ini dalam arti kewajiban yang bersinambung dan tidak berubah sehingga firman-Nya melukiskan shalat sebagai kitaaban mauquutan berarti shalat adalah kewajiban yang tidak berubah, selalu harus dilaksanakan, dan tidak pernah gugur apapun sebabnya.[16]



E.     Q. S. Al-Jumu’ah : 9-11
Artinya : (9). Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (10). Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (11). Dan apabila mereka melihat perniagaan atau pemainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhutbah). Katakanlah : “Apa yang di sisi Allah adalah lebih baik daripada permainan dan perniagaan”, dan Allah sebaik-baik Pemberi rezeki.
Penafsiran Ayat :
Seruan untuk shalat yang dimaksud di atas dan yang mengharuskan dihentikannya segala kegiatan adalah azan yang dikumandangkan saat khatib naik mimbar.[17] Adapun orang-orang yang diwajibkan pergi shalat Jum’at ialah orang-orang yang berada dalam batas kota enam mil (menurut Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, dan Abu Hurairah). Menurut Rabi’ah batas empat mil. Menurut Imam Malik dan Laits batas tiga mil. Menurut Imam Syafi’i ukurannya ialah seorang muazzin yang amat lantang suaranya dan angin tenang dan muazzin itu berdiri di atas dinding kota. Akan tetapi melihat perbuatan sahabat-sahabat Rasul, nyatalah bahwa mereka sejak pagi jari telah bersiap pergi ke mesjid tanpa menunggu suara azan terlebih dahulu. Degnan demikian dapatlah kita fahamkan bahwa terdengar atau tidaknya seruan azan, wajiblah menghadiri shalat Jum’at, karena seruan itu telah ada langsung dari Allah SWT.[18]
Kata dzikrullah yang dimaksud adalah shalat dan khutbah. Kata fas’au pada mulanya berarti berjalan cepat. Akan tetapi bukan itu yang dimaksud karena beliau telah bersabda : “Apabila shalat telah segera akan dilaksanakan, janganlah kamu kesana dengan berjalan cepat tetapi hadirilah dengan tenang.”. [19] Wa dzarul bai’  berarti bagi orang yang sedang bermuamalah haruslah meninggalkannya dan segera pergi shalat Jum’at meski harus menunda mua’malah itu. Rasul bersabda : “Barangsiapa yang meninggalkan Jum’at taiga kali berturut-turut dengan memandang enteng, akan dicap Allah atas hatinya”.[20] 

  



Bab III
Penutup
Simpulan
Dari penjelasan di atas dapatlah dirangkum beberapa poin, yaitu :
-          Shalat wajib lima waktu telah ditentukan waktu pelaksanaannya dalam Al-Quran, begitu pula shalat Jum’at
-          Keringanan-keringanan melakukan shalat dalam keadaan tertentu mengindikasikan bahwa shalat tidak boleh ditinggalkan dengan alasan apapun
-          Muslim diperintahkan untuk mendirikan shalat dengan khusyu’ dan sesuai aturan bukan sekedar mengerjakannya
-          Shalat Shubuh adalah shalat yang utama sebab disaksikan oleh malaikat siang dan malaikat malam
-          Mendirikan shalat dapat menghapuskan setiap dosa kecil yang dilakukan, karena kebaikan dapat menghapus keburukan
-          Inti dari shalat adalah mengingat Allah SWT dengan penyerahan hati setulus-tulusnya kepada Allah agar kita menjadi orang-orang yang beruntung.







Daftar Pustaka
Al-Maraghi, Ahmad Mustafa, Tafsir Al-Maraghi, (Mesir : Mustafa Al-Babi Al-Halabi, 1974).
Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Singapura : Kejaya Pnont Pte Ltd, 2007).
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta : Lentera Hati, 2001).




[1] Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Singapura : Kejaya Pnont Pte Ltd, 2007). Halaman 4100.
[2] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta : Lentera Hati, 2001). Halaman 165.
[3] Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Mesir : Mustafa Al-Babi Al-Halabi, 1974). Halaman 161.
[4] Hamka, Tafsir Al-Azhar,...Halaman 4100.
[5] Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi,...Halaman 184.
[6] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah,...Halaman 773.
[7] Ibid,.
[8] Hamka, Tafsir Al-Azhar,... Halaman 3562.
[9] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah,...Halaman 774.
[10] Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi,...Halaman 187.
[11] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah,...Halaman 774.
[12] Hamka, Tafsir Al-Azhar,... Halaman 3565.
[13] Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi,...Halaman 145.
[14] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah,...Halaman 625.
[15] Ibid...Halaman 690.
[16] Ibid,. Halaman 693.
[17] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah,...Halaman 59.
[18] Hamka, Tafsir Al-Azhar,... Halaman 7374.
[19] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah,...Halaman 60.
[20] Hamka, Tafsir Al-Azhar,... Halaman 7375.

4 comments: