Makalah Fiqh Muamalah
Gadai (rahn)
Disusun Oleh : Kelompok 5
Nama : Saiful Maulana
Semester / Unit : IV / 2
Fakultas Syari'ah Jurusan Muamalah
Institut Agama Islam Negeri
Zawiyah Cot Kala Langsa
2015
Bab I
Pendahuluan
Islam sebagai agam yang universal, mengatur
seluruh kegiatan manusia. Dalam kehidupan perekonomian, Islam bahkan
mengaturnya dengan sebuah sistem yang sekarang disebut dengan sistem ekonmi
syari'ah. Dalam sistem ekonomi syari'ah, setiap akad yang terbentuk seperti
jual beli, sewa, mudharabah, hawalah, wakalah, harus selaras dengan hukum
Islam. Sebagaimana yang dipelajari dalam ilmu ushul fiqh bahwa hukum dasar
dalam mu’amalah adalah mubah, maka setiap kegiatan muamalah boleh dilakukan dan
dikembangkan umat Islam, selama tidak ada pelarangan tentang hal itu, seperti
munculnya praktik riba, atau gharar.
Sebagaimana setiap akad yang harus memenuhi rukun
dan syaratnya masing-masing, akad rahn
(gadai) juga harus memenuhi syarat yang telah ditetapkan dalam syari'ah Islam.
Gadai dalam Islam bertujuan untuk memberikan keamanan bagi pemberi hutang agar
ia dapat tenang dan tak khawatir bahwa hutangnya tidak akan dilunasi. Akan
tetapi sikap saling percaya dan amanah bagi kedua pihak yang berakad itu lebih
penting agar terbentuk ukhuwah Islamiyyah yang terjaga kokoh dalam tubuh umat
Islam.
Berikut ini akan dijelaskan mengenai seluk beluk
akad rahn, mulai dari pengertian, syarat dan rukunnya, manfaatnya, hukum-hukum
yang ditimbulkannya, sampai hal-hal yang mengakhiri akad rahn.
Bab II
Pembahasan
1.
Pengertian dan Dasar Hukum
Transaksi hukum gadai dalam fikih Islam disebut ar-rahn.
Ar-rahn adalah suatu jenis perjanjian untuk menahan suatu barang sebagai
tanggungan hutang. Pengertian ar-rahn dalam bahasa Arab adalah ats-tsubut
wa ad-dawam yang berarti tetap dan kekal. Pengertian tetap
dan kekal yang dimaksud merupakan makna yang tercakup dalam kata al-habsu
yang berarti menahan. Kata ini merupakan makna yang bersifat materiil.
Karena itu secara bahasa kata ar-rahn berarti “menjadikan suatu barang yang bersifat
materi sebagai pengikat uang”.[1]
Adapun menurut pengertian syara’ adalah :
menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai
jaminan hutang, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil hutang atau ia
bisa mengambil sebagian (manfaat) barang itu.[2]
Ulama Syafi’iyyah mendefinisikan akad ar-rahn
seperti berikut : menjadikan barang sebagai jaminan utang yang barang itu
digunakan untuk membayar utang tersebut ketika pihak yang berutang tidak bisa
membayar utang tersebut. Ulama Hanabilah mendefinisikan ar-rahn seperti berikut
: harta yang dijadikan sebagai jaminan utang ketika pihak yang menanggung utang
tidak bisa melunasinya, maka utang tersebut dibayar dengan menggunakan harga
hasil penjualan harta yang dijadikan jaminan tersebut. Ulama Malikiyah
mendefinisikannya sebagai berikut : sesuatu yang berbentuk harta dan mempunyai
nilai yang diambil dari pemiliknya untuk dijadikan jaminan utang yang
keberadaannya sudah positif dan mengikat.[3]
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal
1150, gadai adalah suatu hak yang diperoleh seseorang yang mempunyai piutang
atas suatu barang bergerak, yaitu barang bergerak tersebut diserahkan kepada
orang yang berpiutang oleh orang yang mempunyai utang atau orang lain atas nama
orang yang mempunyai utang. Karena itu barang gadaian dalam hukum perundangan
disebut sebagai barang jaminan, atau agunan atau rungguhan.[4]
Kesemua pengertian yang tersebut diatas pada
intinya sama, akan tetapi ada beberapa perbedaan yang disebabkan oleh
syarat-syarat akad ar-rahn yang berbeda yang dipahami oleh masing-masing
definitor yang pada subbab selanjutnya akan dibahas perbedaan pendapat
tersebut.
Adapun dasar hukum disyariatkannya akad gadai
dalam Islam didasari dari Al-Quran surah Al-Baqarah : 283,
Artinya : Jika kamu dalam perjalanan (dan
bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis,
maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)....
Ulama sepakat bahwa ar-rahn hukumnya boleh, baik
ketika berada dalam perjalan maupun ketika menetap. Karena sunnah menjelaskan
tentang pensyariatan ar-rahn secara mutlak, baik ketika sedang di tengah
perjalanan maupun ketika sedang menetap. Penyebutan as-safar pada ayat
di atas hanya berdasarkan kebiasaan yang lumrah berlaku saja, bukan merupakan
syarat. Karena pada masa dahulu, biasanya di tengah perjalan, sulit untuk
menemukan juru tulis.[5]
Adapun dalil dari hadits yaitu[6] :
عَنْ
اَنَسٍ قَالَ : رَهَنَ رَسُوْلُ اللهِ دِرْعًا لَهُ عِنْدَ يَهُوْدِيٍّ
بِالْمَدِيْنَةِ وَ اَخَذَ مِنْهُ شَعِيْرًا لِاَهْلِهِ (رواه اهمد دو البخاري و
النسائي و ابن ماجه)
Artinya : Dari Anas,
ia berkat, Nabi SAW pernah menggadaian sebuah baju besi kepada seorang Yahudi
di Madinah dan Nnabi SAW mengambil gandum dari si Yahudi itu untuk keluarganya.
(HR. Ahmad, Bukhari, Nasa’i dan Ibnu Majah).
Dari dalil-dalil yang
didapatkan, ulama sepakat hukum ar-rahn adalah boleh (jaiz), tidak wajib.
Karena ar-rahn adalah jaminan utang, oleh karena itu tidak wajib. Adapun bunyi
ayat farihaanum maqbuudhah (maka hendaklah ada barang tanggungan yang
dipegang), perintah tersebut bersifat irsyad ( pengarahan kepada yang
lebih baik) bagi kaum mukminin, bukan perintah yang wajib. Hal ini berdasarkan
bunyi ayat setelahnya yang artinya akan tetapi jika sebagian kamu
mempercayai yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya
(utangnya). Juga karena di dalam ayat ini Allah memerintahkan adanya
ar-rahn ketika tidak menemukan seorang juru tulis. Karena menuliskan dan
mendokumntasikan utang hukumya tidak wajib, maka begitu juga solusi pengganti
penulisan, hukumnya juga tidak wajib.[7]
Rahn dalam syariat
memiliki beberapa manfaat, yaitu[8]
:
-
Menjaga kemungkinan rahin untuk lalai atau bermain-main dengan
hutangnya
-
Memberikan kemanan bagi murtahin.
2.
Rukun dan Syarat
Sebagaimana akad jual beli memiliki rukun dan
syarat, maka ar-rahn juga memiliki rukun dan syarat yang harus dipenuhi agar
akad ar-rahn sah dan mengikat bagi pihak-pihak yang melakukan akad. Adapun
rukun ar-rahn yaitu :
a.
Rahin (pihak yang menggadai)
b.
Murtahin (pihak yang menerima
gadai)
c.
Marhun (barang yang
digadaikan)
d.
Marhun bih (tanggungan utang)
Sedangkan menurut ulama Hanafiyyah, rukun ar-rahn
adalah ijab dari rahin dan qabul dari murtahin, tetapi akad ar-rahn
belum sempurna dan belum berlaku mengikat kecuali setelah adanya al-qabdhu
(serah terima barang yang digadaikan).
Adapun syarat-syarat akad rahn sebagai berikut[9] :
a.
Syarat ‘aqid (rahin dan murtahin)
Pihak yang berakad mestilah memenuhi syarat agar
akad rahn yang dilakukan berlaku sah dan mengikat, adapun syaratnya yaitu ahliyah
yakni memiliki kelayakan, kepatutan dan kompetensi untuk melakukan akad.
Para pihak harus berakal dan mumayyiz. Namun tidak syaratkan baligh, selama ia
mumayyiz. Jadi anak yang belum baligh sah melakukan akad rahn, namun statusnya
digantungkan kepada persetujuan dan pengesahan pihak wali. Pendapat ini menurut
ulama Hanafiyyah. Adapun menurut Jumhur ulama akad rahn tidak sah dilakukan oleh orang yang berada dalam
keadaan terpaksa, anak yang belum baligh, orang gila, dan orang bangkrut. Akad
rahn juga tdak sah dilakukan oleh pihak wali, kecuali ada alasan kondisi
darurat demi kebaikan si anak yang berada dalam perwalian.
b.
Syarat marhun bih
Marhun bih adalah tanggungan utang pihak rahin kepada pihak marhun.
Syarat-syaratnya yaitu :
-
Marhun bih harus merupakan
hak yang wajib diserahkan kepada pemiliknya, maksudnya marhun bih harus berupa
utang yang ditanggung yang wajib dibayar dan diserahkan oleh rahin
-
Marhun bih harus berupa utang
yang dimungkinkan untuk dibayar dan dipenuhi dari marhun, karena tujuan
menerima gadai adalah untuk mendapatkan jaminan pembayaran utang. Oleh karena
itu jika marhun tidak mampu mengganti pembayaran utang, maka akad rahn
tidak sah.
-
Hak yang menjadi marhun bih harus diketahui dengan jelas dan pasti .
c.
Syarat marhun
Marhun adalah harta yang ditahan oleh pihak murtahin untuk mendapatkan
pemenuhan atau pembayaran haknya yang menjadi marhun bih. Jika marhun
sama jenisnya dengan marhun bih, maka pelunasan utang dapat langsung diambil
dari marhun. Jika berbeda jenis maka pelunasan dilakukan dengan menjual marhun
terlebih dahulu untuk diambil harganya dan mengembalikan kelebihan harga itu
(jika ada) kepada rahin.
Menurut ulama Hanafiyyah, marhun harus
memenuhi syarat sebagai berikut :
-
Marhun telah ada saat akad
berlangsung, maka tidak ah menggadaikan sesuatu yang tidak ada ketika akad,
seperti menggadaikan buah yang akan dihasilkan oleh pohonnya tahun ini, karena
belum tentu pohon itu akan berbuah.
-
Marhun harus bisa dijual dan
bernilai.
-
Marhun harus berupa harta,
maka tidak sah menggadai bangkai.
-
Marhun tidak boleh berupa
kemanfaatan, contohny tidak sah menggadai kemanfaatan menempati rumah dalam
tempo tertentu. Karena menurut ulama Hanafiyyah kemanfaatan bukanlah harta, dan
selain ulama Hanafiyyah beralasan karena kemanfaatan tidak bisa diserhterimakan
pada waktu akad dan tidak memiliki sifat yang pasti dan tetap.
-
Marhun harus diketahui dengan
jelas dan pasti
-
Marhun harus berstatus milik rahin
atau milik orang yang berada dalam perwalian rahin atau telah mendapat
izin dari pemiliknya untuk digadaikan oleh rahin. Maka, sah seorang ayah
menggadaikan harta anak yang berada dalam perwaliannya. Begitu juga, sah
menggadaikan harta orang lain atas izin pemilik harta tersebut.
-
Marhun harus mufarragh
dan muhawwaz, maksudnya barang yang digadaikan tidak melekat dengan
barang yang tidak digadaikan. Contohnya, tidak sah menggadai sebidang tanah
saja tanpa mengikutsertakan tanamannya.
Qabdhu (serah terima marhun)
Selain syarat-syarat yang harus dipenuhi pada rukun-rukunnya,
akad rahn juga mempunyai syarat lain yaitu Qabdhu, penyerahterimaan marhun
kepada murtahin. Hal ini didasari oleh bunyi ayat yang artinya maka
hendaklah ada berang tanggungan yang dipegang oleh yang berpiutang
(Al-Baqarah : 283). Qabdhu disyaratkan ada untuk menerapkan tujuan dari
gadai itu sendiri yaitu untuk memberikan jaminan pada murtahin dan
kepastian bahwa hutang yang diberikannya pada rahin akan dibayar.
Jumhur ulama berpendapat bahwa qabdhu
bukanlah syarat sah akad rahn, akan tetapi syarat berlaku mengikatnya akad
rahn. Oleh karena itu akad rahn belum mengikat kecuali setelah adanya qabdhu,
maka sebelum adanya qabdhu rahin masih memiliki kebebasan unutk
membatalkan akad secara sepihak. Namun setelah adanya qabdhu, akad telah
saling mengikat pihak, sehingga pihak yang berakad tidak boleh membatalkan akad
secara sepihak.
Qabdhu baru dianggap sah jika memenuhi syarat sebagai berikut :
-
Qabdhu harus atas izin dari
pihak rahin,
-
Ketika dilakukan qabdhu, kedua pihak harus memiliki ahliyah.
Qabdhu tidak mesti dilakukan oleh rahin atau murtahin, melainkan
boleh juga dilakukan oleh wakilnya. Kedua belah pihak (rahin dan murtahin)
juga boleh melakukan kesepakatan untuk menitipkan marhun kepada pihak ketiga yang disebut ‘adl
karena mungkin rahin tidak suka
jika marhun berada di tangan murtahin, dan terkadang murtahin sendiri
tidak suka marhun berada di tangannya. ‘Adl adalah pihak ketiga yang dipercaya oleh kedua
belah pihak, maka dari itu dia harus memenuhi syarat sebagai ’adl ,
yaitu mumayyiz, berakal, tidak boros, dan dia bukan merupakan seorang yang
memiliki bagian harta dari marhun tersebut.
3.
Hukum-Hukum Gadai dan Efeknya
Akad rahn ada yang
sah dan ada yang tidak sah. Akad rahn yang sah adalah akad yang memenuhi
syarat-syarat akad rahn, sedangkan akad yang tidak sah adalah akad yang tidak
terpenuhi syaratnya. Menurut Hanafiyyah, akad yang tidak sah terbagi menjadi
akad baathil (batal) dan akad fasid (rusak).
Akad yang batal yaitu yang tidak memenuhi salah
satu syarat yang berkaitan dengan asal akad, seperti pihak yang mengadakan akad
tidak memiliki ahliyah. Akad yang fasid yaitu akad ang tidak
memenuhi salah satu syarat yang berkaitan dengan sifat akad, seperti marhun
tidak mufarragh dan muhawwaz. Sedangkan menurut jumhur, akad yang
tidak sah hanya satu yaitu akad batal, kad yang tidak terpenuhi syaratnya.
a.
Hukum akad rahn yang sah
Berlaku mengikatnya akad rahn adalah hanya
sepihak, yaitu hanya bagi rahin saja, bukan bagi murtahin. Oleh
karena itu rahin tidak memiliki hak unutk membatalkan akad, karena akad
rahn adalah jaminan utang. Adapun murtahin, maka ia memiliki hal untuk
membatalkannya kapan saja karen akad rahn dalah unutk kemashlahatan dan
kepentingan dirinya. Akad rahn belum memiliki konsekuensi apa-apa kecuali
dengan adanya qabdhu. Oleh karena itu harga barang yang digadaikan belum
bisa hanya diperuntukkan bagi murtahin saja atau dengan kata lain blum
memiliki hak priorotas terhadap harga barang yang digadaikan itu sebelum tejadi
qabdhu.
Setelah terjadinya akad rahn yang sah, maka akan
timbul efek-efek hukum yang terikat bagi kedua pihak, seperti berikut ;
-
Marhun terikat dengan hutang
yang ada. Jika barang yang digadaikan sebagai jaminan hutang, maka seluruh
bagian dan satuan dari barang itu terikat dengan hutang tersebut. Marhun
tidak terikat dengan hutang yang tidak dilalui dengan akad rahn, ia
hanya terikat dengan sejumlah utang yang dilalui dengan akad rahn.
-
Murtahin berhak untuk menahan
marhun, akan tetapi tidak berhak untuk memilikinya. Murtahin
hanya berhak terhadap harga barang itu sebanyak nilai hutang yang diberikannya,
jika rahin tidak mampu untuk membayar hutangnya.
-
Ulama Hanafiyyah tidak memperbolehkan pihak rahin meminta kembali marhun
untuk dimanfaatkan. Akan tetapi ulama Syafi’iyyah memperbolehkan hal tersebut.
-
Menurut ulama Hanafiyyah, murtahin wajib menjaga marhun
seperti menjaga hartanya sendiri. Jika marhun rusak maka, murtahin bertanggung jawab
atas kerusakan tersenut.
-
Manfaat yang dihasilkan dari marhun adalah unutk rahin.
-
Menurut Jumhur, seluruh biaya pengurusan dan penjagaan marhun
dibebankan pada rahin. Ulama Hanafiyyah berpendapat bahwa biaya
penjagaan dibebankan pada murtahin sedangkan biaya pengurusan dibebankan
pada rahin.
-
Ulama Syafi’iyyah berpendapat marhun boleh dimanfaatkan oleh rahin
selama tidak merugikan murtahin. Jumhur berpendapat rahin sama
sekali tidak boleh memanfaatkan marhun.
b.
Hukum akad rahn yang tidak sah
Para imam mazhab sepakat bahwa akad rahn yang
batal tidak memiliki efek hukum apa-apa. Oeh karena itu murtahin tidak memiliki hak menahan dan rahin berhak
meminta kembali marhun dari tangan murtahin. Apabila murtahin
tidak menyerahkan atau merusak marhuun tanpa menggantiya maka ia
dianggap menguasai harta orang lain secara zalim. Penahanan murtahin terhadap
marhun dihukumkan sebagai harta amanat bukan sebagai barang gadaian.
4.
Pertambahan Gadai
Menambah marhun atau marhun bih dalam
akad rahn dijelaskan dseperti berikut.
Menambah marhun adalah memberikan lagi
barang gadaian disamping barang gadaian yang ada dengan utang yang sama. Hal
ini hukumnya bolleh menurut Jumhur Ulama, karena itu merupakan bentuk tambahan
penguat jaminan yang merupakan tujuan inti dari akad rahn.
Sedangkan tambahan utang atas marhun yang sama, maksudnya rahin
meminjam utang lagi dengan barang gadai yang sama, terdapat perbedaan
pendapat tentang kebolehannya : Imam Hanafi dan Ulama Hanabilah berpendapat hal
tersebut tidak diperbolehkan, karena tambahan seperti itu merupakan akad rahn
baru, yang berarti menggadaikan lagi barang sudah digadaikan. Sementara itu
Imam Malik, Abu Yusuf, Abu Tsur berpendapat hal itu boleh. Karena tambahan
dalam marhun bih berarti menghapus akad rahn yang lama dan mengadakan
akad rahn yang baru dengan jumlah marhun bih yang baru juga.
5.
Berakhirnya Akad Gadai
Akad rahn selesai dan berakhir karena beberapa
hal, diantaranya :
a.
Diserahkannya marhun kepada pemiliknya. Menurut jumhur selain
Syafi’iyyah, jika marhun diserahkan kepada pemiliknya maka jaminan
penguat utang akan hilang sehingga akad rahn menjadi batal.
b.
Terlunasinya seluruh marhun bih.
c.
Penjualan marhun secara paksa yang dilakukan oleh rahin atas
perintah hakim, atau yang dilakukn oleh hakim ketika rahin menolak
menjual marhun. Apabila marhun dijual dan utang terlunasi dengan
harga penjualan itu,maka akad rahn telah selesai.
d.
Terbebasnya rahin dari utang yang ada wlau dengan cara apapun.
e.
Binasanya marhun
f.
Marhun ditasharufkan oleh
salah satu pihak seperti meminjamkannya, menjualnya atau menyedekahkannya.
Bab III
Penutup
Kesimpulan
Dari penjelasan di atas secara global, dapat
dirangkum sebagai berikut :
Rahn adalah menjadikan barang yang mempunyai nilai
harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan hutang, hingga orang yang
bersangkutan boleh mengambil hutang atau ia bisa mengambil sebagian (manfaat)
barang itu.
Rukun akad rahn yaitu :
a.
Rahin (pihak yang menggadai)
b.
Murtahin (pihak yang menerima
gadai)
c.
Marhun (barang yang
digadaikan)
d.
Marhun bih (tanggungan
utang).
Akad rahn terbagi dua yaitu :
a.
Akad rahn yang sah, yakni akad rahn yang terpenuhi seluruh rukun dan
syaratnya
b.
Akad rahn yang tidak sah yaitu akad rahn yang tidak terpenuhi seluruh
syaratnya.
Daftar Pustaka
Ali, Zainuddin, Hukum Gadai
Syari'ah, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008).
Antonio, Muhammad Syafi’i , Bank
Syari'ah, (Jakarta : Gema Insani, 2001).
Az-Zuhaili , Wahbah, Fikih Islam, (Jakarta : Gema Insani, 2011).
Faishal bin Abdul Aziz, Nailul Authar, (Surabaya : PT Bina Ilmu,
2000).
Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah, (Bandung : PT. Alma’arif, 1987).
No comments:
Post a Comment