Wednesday 21 October 2015

definisi nikah, dalil nikah,hukum nikah, hikmah nikah, dampak hukum nikah



Makalah Fiqh Munakahat
Definisi, Dalil, Hukum, Hikmah dan Dampak Hukum


Disusun oleh              : Kelompok 1
Semester                    : V
Unit                            : 2
Mata Kuliah              : Fiqh Munakahat



Fakultas Syari'ah Jurusan Muamalah
Institut Agama Islam Negeri
Zawiyah Cot Kala Langsa
Tahun 2015



Kata Pengantar
Assalamualikum warahmatullahi wabarakatuh,
Alhamdulilahirabbil’alamin,
Puja dan puji saya ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan nikmat terbesarnya kepada saya berupa iman dan kesehatan sehingga saya masih berkesempatan membuat tugas yang diberikan oleh Bapak Dosen. Shalawat dan salam saya sampaikan kepada Rasulullah SAW yang telah mengorbankan jiwa dan raganya demi menegakkan agama Islam di muka bumi yang dirahmati Allah SWT.
Tujuan dari pembuatan makalah yang berjudul Definisi, Dalil, Hukum, Hikmah dan Dampak Hukum Nikah ini adalah untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh dosen untuk dijadikan bahan perkuliahan dalam presentasi. Saya mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada teman-teman yang sudah membantu dalam penyelesaian makalah ini. Saya berharap semoga makalah ini dapat menjadi sumber bacaan yang berkualitas dan membantu teman-teman dalam memahami materi ini.
Demikianlah makalah ini dibuat dengan semestinya.
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

                                                                                                          Penulis

                                                                                                   (.....................)




Bab I
Pendahuluan
Makalah  ini menjadi pengantar untuk makalah selanjutnya, karena pembahasan tentang definisi, sumber dalil, dan hal-hal mendasar dalam suatu permasalahan adalah kunci untuk memahami pembahasan selanjutnya .
Fiqh Munakahat sebagai salah satu cabang ilmu fiqh, memegang peranan penting dalam  mengatur tatanan kehidupan umat Islam. Fiqh Munakahat itu adalah hukum Allah, oleh karena itu, sumber utama dari fiqh munakahat itu adalah wahyu  ilahi yang terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah.
Banyak hal-hal yang dibahas dalam fiqh munakahat, seperti masalah rukun nikah, kewajiban  suami dan istri, masalah peminangan, talak, ruju’,poligami, pemeliharaan anak, sampai jenis-jenis pernikahan yang dilarang dalam Islam. Akan tetapi didalam makalah akan dibahas beberapa rumusan masalah saja sebagai berikut :
Rumusan Masalah  :
1.      Apa yang dimaksud dengan nikah ?
2.      Apa dalil pensyariatan nikah ?
3.      Bagaimana hukum pernikahan  menurut Islam ?
4.      Apa saja hikmah dari adanya pernikahan ?
5.      Bagaimana dampak hukum yang tercipta dari adanya pernikahan yang sah ?






Bab II
Pembahasan

1.      Definisi Nikah
Perkawinan atau pernikahan dalam literatur fiqh berbahasa Arab disebut dengan dua kata, yaitu nikah dan zawaj. Kedua kata ini yang terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam Al-Quran dan hadits Nabi SAW.[1]
Kata ‘nikah’ berasal dari bahasa Arab نِكَاحٌ  yang merupakan masdar dari kata kerja نَكَحَ . Secara bahasa artinya adalah ‘adh-dhammu’(bergabung), ‘wathi’(hubungan kelamin), dan juga berarti ‘’akad’(akad).
Secara istilah, ulama kalangan  Syafi’iyyah mengartikan nikah adalah akad atau perjanjian yang mengandung maksud membolehkan hubungan kelamin dengan menggunakan lafaz na-ka-ha atau za-wa-ja.[2]
Berdasarkan Kompilasi  Hukum Islam, pernikahan adalah akad yang sangat kuat untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Dan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.[3]



2.      Dalil Nikah
Di dalam Islam nikah adalah suatu yang dianjurkan, bahkan Nabi SAW mengatakan bahwa itu adalah sunnahnya. Ada banyak dalil dari Al-Quran dan hadits yang membahas tentang nikah.
Dalam Al-Quran Allah berfirman dalam surah An-Nisa ayat 1 :

            Artinya : Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (QS. An-Nisa: 1)
Dalam ayat tersebut Allah berfiraman bahwa Dia sendirilah yang telah menciptakan istri bagi kaum pria sehingga menciptakan manusia menjadi berpasang-pasangan. Kalimat senada juga tersebut dalam Q.S. An-Nahl ayat 72, juga dalam Q.S Ar-Rum ayat 21.

Dalam ayat lain Allah berfirman, pada surah An-Nur ayat 32 :
Artinya : Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.

Melalui ayat tersebut Allah memerintahkan manusia untuk menikahkan para lajang, bahkan lebih dipertegas lagi dengan kalimat “maka Allah akan memampukan mereka” bagi orang-orang yang merasa belum mampu secara ekonomi untuk menikah.

Sedangkan dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Ubnu Abbas, Rasulullah bersabda :
يَا مًعْشَرَ الشَّبَابَ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَ اَحْصَنُ لِلْفَجْرِ .
Artinya : Hai para pemuda, barangsiapa yang telah sanggup di antaramu untuk kawin, maka kawinlah, karena sesungguhnya kawin itu dapat mengurangi pandangan (yang liar) dan lebih menjaga kehormatan.

Islam sangat menganjurkan para pemuda untuk langsung menikah ketika ia telah sanggup secara lahir dan batin. Banyak sebab dan alasan mengapa nikah adalah suatu yang sangat dianjurkan salah satunya seperti yang disebut dalam hadits di atas, yaitu untk menjaga kehormatan dan pandangan yang dilarang.

Dalam hadits lain Rasul bersabda :
... وَ أَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عِنْ سُنَّتِيْ فَلَيْسَ مِنِّيْ . (رواه الجماعة و المسلم)
Artinya :  ... dan aku mengawini wanita-wanita, barangsiapa yang benci terhadap sunnahku, maka ia bukan termasuk umatku. (HR. Jama’ah dan Muslim)[4]

3.      Hukum Nikah
Tentang hukum melakukan perkawinan, Ibnu Rusyd menjelaskan :
Segolongan fuqaha, yakni jumhur berpendapat bahwa nikah itu hukumnya sunnat. Golongan Zhahiriyyah berpendapat bahwa nikah itu wajib. Para ulam Malikiyyah mutaakhirin berpendapat bahwa nikah itu wajib bagi sebagin orang, sunnat untuk sebagian yang lain, dan mubah untuk golongan yang lain.[5]
Perbedaan ini disebabkan karena adanya perbedaan penafsiran terhadap bentuk kalimat perintah yang ada pada ayat-ayat munakahat, apakah itu harus diartikan wajib, atau sunnah atau mungkin mubah.
Bagi fuqaha yang berpendapat bahwa kawin itu wajib bagi sebagian orang, sunnat untuk sebagian yang lain, dan mubah untuk yang lain, maka pendapat ini didasarkan atas pertimbangan kemashlahatan.

Ulama Syafi’iyyah mengatakan hukum asal nikah adalah mubah, namun secara rinci menyatakan huukm perkawinan itu dengan melihat keadaan orang –orang tertentu sebagai berikut :
a.       Sunnah bagi orang-orang yang telah berkeinginan untuk kawin, telah pantas untuk kawin, dan dia telah mempunyai perbekalan untuk melangsungkan perkawinan.
b.      Makruh bagi orang-orang yang belum berkeinginan untuk kawin, sedangkan perbekalan pun belum ada. Begitu juga ia telah mempunyai perbekalan untuk perkawinan, namun fisiknya mengalami cacat, seperti impoten, berpenyakitan tetap, tua bangka dan berpenyaktan fisik lainya.[6]

Ulama Hanafiyah menambahkan hukum secar khusus bagi keadaan orang tertentu sebagai berikut :
a.       Wajib bagi orang-orang yang telah pantas untuk kawin,berkeinginan untuk kawin dan memiliki perlengkapan untuk kawin; ia takut akan terjerumus ke dalam perbuatan zina jika ia tidak kawin.
b.      Makrih bagi orang yang pada dasarnya mampu melakukakan perkainan namun ia mersa akan berbuat curang dalam perkawinannya.[7]

Ulama lain menambahkan hukum perkawinan secara khusus untuk keadaan dan orang tertentu sebagai berikut :
a.       Haram bagi orang yang tidak dapat memenuhi ketentuan syara’ untuk melakukan perkawinan atau ia yakin perkawinan itu tidak akan mencapai tujuan syara’, sedangkan ia meyaknii perkawinan itu akan merusak hidup pasangannya.
b.      Mubah bagi orang-orang yang pada dasarnya belum ada dorongan untuk kawin dan perkawinan itu tidak akan mendatangkan kemudharatan apa-apa kepada siapapun.[8]

4.      Hikmah Nikah
Menurut Ali Ahmad Al-Jurjawi, hikmah-hikmah perkawinan itu ada banyak, antara lain :[9]
a.       Dengan pernikahan maka banyaklah keturunan. Ketika keturunan itu banyak maka proses memakmurkan bumi berjalan semakin mudah, karena suatu perbuatan yang harus dikerjakan bersama-sama akan sulit dikerjakan sendirian.
b.      Keadaan hidup manusia tidak akan tenteram kecuali jika keadaan rumah tangganya teratur. Kehidupannya tidak kan tenang kecuali dengan adanya ketertiban rumah tangga. Dengan alasan itulah maka nikah disyariatkan sehingga keadaan kaum laki-laki menjadi tenteram dan dunia semakin makmur.
c.       Laki-laki dan perempuan adalah dua sekutu yang berfungsi memakmurkan dunia masing-masing dengan ciri khasnya berbuat dengan berbagai maccam pekerjaan.
d.      Manusia diciptakan dengan memiliki rasa cemburu untuk menjaga kehormatannya dan kemuliannya. Pernikahan akan menjaga pandangan yang penuh syahwat terhadap apa yang tidak dihalalkan untuknya. Apabila keutamaan dilanggar, maka akan datang bahaya dari dua sisi, yaitu melakukan kehinaan dan timbulnya permusuhan dikalangan pelakunya denga emalakukan perzinahan dan kefasikan. Adanya tindakan seperti itu, tanpa diragukan lagi akan merusak peraturan alam. Rasulullah bersabda :

مَنْ تَزَوَّجَ فَقَدْ اَحْرَزَ شَطَّرَ دِيْنِهِ , فَالْيَتَّقِ للهَ فِي الشَّطَّرِ الأَخَرِ.
Artinya : Barangsiapa menikah berarti telah menjaga separuh agamanya, maka hendaklah dia takut kepada Allah akan sebagian yang lain.
e.       Perkawinan akan menjaga keturunan dan menjaganya. Di dalamnya terdapat faedah yang banyak antara lain memelihara hak-hak dalam warisan.
f.       Berbuat baik yang banyak lebih baik daripada berbuat baik yang sedikit. Pernikahan pada umumnya akan menghasilkan keturunan yang banyak. Nabi SAW bersabda :

تَنَاكَحُوا تَنَاسَلُوا تَكَتَرُوا فَإِنِّي مُبَاهٍ بِكُمُ الْأَمَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ .
Artinya : Menikahlah, niscaya kamu sekalian akan beranak pinak dan berbanyak-banyaklah kamu sekalian, maka sesungguhnya aku membanggakan dengan kalian akan adanya umat yang banyak pada hari kiamat.
g.      Manusia itu jika telah mati maka terputuslah semua amalnya yang mendatangkan rahmat dan pahala. Namun apabila mashi meninggalkan anak dan istri, pasti mereka akan mendo’akannya dengan kebaikan hingga amalnya pun tidak terputus dan pahalanya pun tidak ditolak.

Selain hikmah tersebut, Sayyid Sabiq menyebutkan pula hikmah yang lain[10] :
a.       Sesungguhnya naluri seks merupakan naluri yang paling kuat, yang selamanya manuntut ada jalan keluar. Bilamana jalan keluar tidak dapat memuaskannya, maka banyaklah manusia yang mengalami kegoncangan, kacau dan menerobos jalan yang jahat. Pernikahan merupakan jalan alami dan biologis yang paing baik dan sesuai untuk menyaurkan dan memuaska naluri seks ini.
b.      Naluri keibuan dan kebapaan akan tumbuh saling melengkapi dalam suasana hidup dengan anak-anak dan akan tumbuh pula perasaan ramah, cinta, dan sayang yang merupakan sifat-sifat baik yang menyempurnakan kemanusiaan seseorang.
c.       Menyadari tanggung jawab beristri dan menanggung anak-anak akan menimbulkan sikap rajin dan sungguh-sungguh dalam memperkuat bakat dnan pembawaan seseorang. Ia akan cekatan bekerja karena dorongan tanggung jawab dan memikul kewajibannya, sehingga ia akan banyak bekerja dan mencari penghasilan yang dapat memperbesar jumlah kekayaan dan memperbanyak produksi.
d.      Dengan perkawinan, diantaranya dapat membuahkan tali kekeluargaan, memperteguh kelanggengan rasa cinta antara keluarga, dan memperkuat hubungan kemasyarakatan yang oleh Islam direstui.

5.      Dampak Hukum Perkawinan
Akad perkawinan yang sah menurut syari'ah, akan membuahkan akibat hukum yang saling mengikat di hadapan Allah SWT. Adapun akibat hukum itu antara lain :
a.       Menjadi halalnya bagi suami dan istri untuk bergaul seperti yang diajarkan Rasulullah SAW.
b.      Kewajiban bagi suami dan istri untuk melakukan kewajiban-kewajibanya sebagai suami/istri.
Suami wajib memberikan nafkah lahir dan batin kepada istri dan anak-anaknya, begitu pulaistri wajib mematuhi segala perintah suami selama hal itu bukan larangan agama.
c.       Dengan melakukan pernikahan dengan seorang wanita, maka akan timbul keharaman bagi si lelaki untuk menikahi orang-orang dekat si istri, seperti ibu istri, anak si istri, bibi/keponakan istri (dihimpun dalam satu waktu), dan  lain-lain.


Bab III
Penutup
Simpulan
Nikah adalah akad yang mengikat yang menjadikan sah hubungan antara lelaki dan perempuan yang bukan muhrimnya dan menjadi halal hubungan badan antara mereka, yang mengakibatkan timbulnya akibat-akibat hukum yang wajib dipenuhi oleh suami/istri.
Dalam Al-Quran Allah menjelaskan bahwa Dia telah menciptakan segala apa yang ada di langit dan di bumi barpasang-pasangan. Dia pulalah yang telah menciptakan manusia dari seorang diri dan menciptakan pasangannya dari tulang rusuknya. Hal itu seperti yang dijelaskan-Nya dalam Q.S. An-Nahl ayat 72, Q.S Ar-Rum ayat 21 dan Q.S An-Nisa ayat 1.
Rasulullah sendiri menyatakan bahwa pernikahan yang sah adalah sunnahnya dan bukanlah umatnya siapa-siapa yang yang mengingkari sunnahnya tersebut. Dari Al-Quran dan sunnah telah disebutkan bahwa menikah adalah hal yang sangat dianjurkan bagi muslim, sebab degnan adanya pernikahan maka banyak kezaliman-kezaliman yang akan terhindari dan tercegah, sebab pernikahan akan menccegah manusia dari pandangan yang buruk.







Daftar Pustaka
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007).
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2004).
 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th).
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2008).



[1] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007),cetakan II, halaman 35.

[2] Ibid,. Halaman 36.
[3] Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2004), cetakan V, halaman 4.
[4] Ibid,. Halaman 13.
[5] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), jilid II, halaman 2.
[6] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, ...halaman 46.
[7] Ibid,,
[8] Ibid,.
[9] Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2008), cetakan III, halaman 65.
[10] Ibid,.

No comments:

Post a Comment