Tugas Ushul Fiqh - III
Mazhab
Ditulis oleh
Nama : Saiful Maulana
Semester
/ Unit : V / 2
Dosen
Pengampu : Sitti Suryani Lc, MA.
Fakultas Syari'ah Jurusan Muamalah
Institut Agama Islam Negeri
Zawiyah Cot Kala Langsa
2015
1.
Pengertian Madzhab
Secara bahasa, madzhab berasal dari kata :
ذَهَبَ – يَذْهَبُ –
ذَهَابًا – ذُهُوْبًا – مَذْهَبًا
yang artinya
“jalan atau tempat yang dilalui”. Juga dapat berarti “pendirian”.[1]
Dalam istilah
fikih madzhab meliputi dua pengertian :
·
Jalan / metode yang digunakan seorang mujtahid dalam menetapkan
hukum suatu perkara.
·
Pendapat / fatwa seorang mujtahid / mufti tentang hukum suatu
perkara.
Dengan
demikian, pengertian “bermadzhab” adalah “mengikuti hasil ijtihad sorang imam
tentang hukum suatu masalah atau tentang kaidah-kaidah istinbathnya.”[2]
Selain empat
madzhab fikih yang terkenal, ada banyak madzhab fikih lain dalam dunia Islam,
diantaranya : Madzhab Az-Zahiri, Madzhab Al-Auza’iy, Madzhab Ats-Tsauri,
Madzhab Zaidiyah, dan masih banyak lagi.
2. Keharusan
Mengikuti Suatu Madzhab Tertentu
Allah
berfirman,
(#þqè=t«ó¡sù.... @÷dr& Ìò2Ïe%!$# bÎ) óOçFZä. w cqßJn=÷ès? ÇÐÈ
Artinya
: ... Maka Tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu
tiada mengetahui.(QS. Al-Anbiya’: 7)
Dalam ayat
tersebut Allah menyatakan, bahwa orang-orang yang tidak memiliki ilmu yang
dalam tentang suatu hal, maka haruslah bertanya pada orang yang lebih mengerti.
Ayat ini menjadi dasar, bahwa seseorang yang tidak mampu untuk berijtihad
tentang hukum Islam, maka wajiblah ia bertanya pada orang yang mampu.
Berdasarkan
pendapat para ulama, seorang dikatakan mampu berijtihad jika ia memenuhi
kriteria-kriteria seperti, hafal Alquran, ribuan hadits, menguasai ilmu Alquran
dan hadits, tata bahasa Arab, ke-tsiqqah-an para perawi hadits dan masih banyak
lagi. Dewasa ini, orang yang menguasai ilmu-ilmu tersebut secara sempurna,
sulit ditemukan, bahkan mustahil. Oleh sebab itulah, setiap muslim di zaman
sekarang haruslah bermadzhab, baik mengikuti metode ijtihad maupun hasil ijtihad,
tergantung kemampuan orang itu.
Bahkan para
ahli hadits yang menguasai ribuan hadits seperti, Imam Bukhari, Muslim,
Tirmidzi dan lain-lain, juga bermadzhab kepada imam-imam madzhab yang hidup
lebih dahulu dari mereka seperti Syafi’i atau Hanafi. Hal itu disebabkan karena
mereka hanya menghafal hadits-hadits itu, namun mereka tidak yakin mengetahui
inti dari hadits-hadits itu. Mereka menganggap bahwa para imam madzhab yang
hidup lebih dekat dengan masa Rasul dan sahabat, lebih mengetahui kandungan
hukum yang terkandung dalam nash, sehingga mereka memilih untuk bermadzhab.
Jadi jika di
zaman sekarang ini ada orang yang terlalu sombong untuk bermadzhab dengan
alasan bahwa mereka adalah orang-orang yang mengikuti sunnah Rasul, mereka itu
adalah salah besar. Mereka mengambil hadits-hadits Rasul SAW dan mengambil
hukum dari hadits tersebut dengan hanya berbekal ilmu mereka yang jauh dari
kata layak untuk beristinbath.
Oleh karena
kita adalah orang-orang yang tidak mengetahui, maka haruslah bagi kita untuk
bermadzhab. Namun mengenai keharusan bagi seseorang untuk mengikuti satu
madzhab saja secara konsisten pada semua perkara hukum, ada perbedaan pendapat
di kalangan ulama ushul[3]
:
Wajib mengikuti
satu madzhab secara konsisten. Sebagian ulama mengatakan bahwa wajib mengikuti satu madzhab yang
diyakini benar secara konsisten pada semua permasalahan dan tidak boleh
berpindah madzhab. Hal ini karena orang yang telah memilih suatu madzhab
tertentu berarti telah yakin bahwa madzhab itu adalah madzhab yang benar, maka
ia wajib melaksanakan keyakinannya itu.
Tidak wajib
mengikuti satu madzhab secara konsisten. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa tidak wajib mengikuti satu
madzhab tertentu secara konsisten. Orang tersebut boleh bertaklid pada imam
mujtahid manapun yang ia kehendaki dan boleh berpindah madzhab. Alasannya
adalah sesuatu dihukumi wajib bila Allah dan Rasul-Nya sendiri yang memberi
perintah wajib. Sedangkan Allah dan Rasul SAW tidak pernah mewajibkan seseorang
bermadzhab dengan satu imam yang ada. Yang diwajibkan oleh Allah adalah
mengikuti ulama secara umum, sebagaimana yang disebutkan dalam QS. Al-Anbbiya’:
7 yang artinya : “... maka tanyakanlah kepada orang yang berilmu, jika kamu
tidak mengetahui.”
Alasan lainnya
adalah pada zaman sahabat dan tabi’in, tidak ada yang mewajibkan dirinya untuk
mengikuti madzhab tertentu saja, melainkan mereka akan menanyakan kepada siapa
pun yang ahli tanpa membatasi diri kepada salah satu dari mereka. Selain itu,
pendapat yang mengatakan bahwa wajib mengikuti salah satu madzhab saja, akan
menyebabkan kesulitan dan kesempitan. Padahal, keberadaan madzhab yang beragam
sebenarnya adalah anugrah dan juga rahmat bagi umat Islam.
Secara lebih
detail, Imam al-Amid dan Imam al-Kamal ibnul Hammam mejelaskan bahwa, yang
diwajibkan adalah mengikuti aturan satu madzhab tertentu dalam satu perkara.
Ketika dia mengamalkan satu madzhab dalam suatu perkara, maka ia tidak boleh
secara bersamaan juga bertaklid pada madzhab yang lain. Akan tetapi ketika dia
menghadapi perkara yang lain yang tidak bersangkut paut dengan perkara yang
pertama tadi, maka ia boleh mengikuti mazhab yang lain.
Dan pendapat yang rajih dalam permasalahan ini adalah tidak
diwajibkannya mengikuti satu madzhab secara konsisten.
3.
Bolehkah Menyalahi Imam Madzhab dalam Suatu Perkara
Jika yang dimaksud dengan menyalahi disini adalah menyatakan bahwa
pendapat seorang imam adalah salah, maka hal itu tidak dibenarkan. Sebab, murid
secerdas Imam Syafi’i pun tidak berani menyalahkan hasil ijtihad gurunya yaitu
Imam Maliki, walaupun sebenarnya hasil ijtihad yang ia dapati dengan metodenya
sendiri berbeda dengan hasil ijtihad gurunya. Hal itu disebabkan karena,
masing-masing mujtahid memiliki metodenya sendiri dalam berijtihad, dan setiap
hasil ijtihad yang mereka kemukakan tidak pernah bertentangan dengan Alquran
dan Sunnah dalam masalah hukum-hukum pokoknya.
Jika yang dimaksud dengan menyalahi disini adalah tidak sependapat
dengan hasil ijtihad seorang imam, dan kemudian mengambil pendapat imam madzhab
lain dalam suatu perkara, maka hal ini dibolehkan. Bahkan meskipun seseorang
yang telah bertaqlid pada madzhab tertentu, ia tetap boleh mengambil pendapat
madzhab lain dalam suatu perkara. Seperti yang dikatakan sebelumnya, bahwa
tidak ada dalil yang mengatakan bahwa wajib mengikuti satu madzhab secara
konsisten dalam setiap perkara, maka berbeda pendapat dengan imam madzhab dalam
suatu perkara adalah boleh. Namun, mengambil pendapat lain ini haruslah
disertai dengan sikap ittiba’, karena tidak mungkin seseorang dapat menyalahi
imam madzhabnya tanpa mengetahui dan mempelajari terlebih dahulu metode dan
dalil yang digunakan imam tersebut dalam berijtihad tentang perkara tersebut.
Memadukan dua pendapat imam (talfiq), juga harus memenuhi syarat-syarat
seperti tidak menjadikan yang haram menjadi halal dan sebaliknya.
4.
Bertaqlid pada Selain Empat Madzhab
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa dalam khazanah
keilmuan fiqih Islam, ada banyak Imam Madzhab yang berijtihad menurut
pendapatnya masing-masing. Empat madzhab fiqih yang termasyur yaitu Syafiiyyah,
Malikiyyah, Hanafiyah, dan Hanabilah. Empat madzhab ini adalah empat madzhab
yang memiliki pengikut yang terbanyak dalam dunia Islam.
Selain empat madzhab tersebut, ada banyak madzhab lain seperti
Zahiriyyah, Auzaiyyah, Ibadhiyyah dan lain-lain. Akan tetapi, dalam
perkembangannya madzhab-madzhab tersebut tidak memiliki pengikut yang banyak,
sehingga pendapat-pendapat yang mereka kemukakan tidak terjaga sampai sekarang.
Buku-buku yang mereka tulis juga tidak ditemukan lagi. Dengan demikian
metode-metode mereka dalam berijtihad tidak diketahui dengan jelas. Lingkup
fiqih yang mereka ijtihadkan pun tidak selengkap dan sedetail madzhab yang empat.
Hal tersebut berbeda dengan keadaan madzhab yang empat. Biografi
imam-imamnya secara jelas tetap diketahui sampai sekarang. Ruang lingkup ilmu
fiqih yang mereka jejali juga detail dan komprehensif dalam semua permasalahan.
Buku-buku yang mereka tulis juga masih terjaga dengan utuh, seperti Kitab
al-Umm dan ar-Risalah Imam Syafi’i dan al-Muwatha’ imam Maliki.
Berhubung dengan sub-judul sebelumnya., bahwa umat muslim boleh mengambil
pendapat manapun yang dianggap benar, karena tidak ada dalil yang mengharuskan
muslim untuk bertaqlid kepada madzhab yang empat saja. Mengenai ini ada
persyaratan yang harus diperhatikan. Mencari pendapat yang benar itu haruslah
mengetahui dengan jelas siapa yang mengeluarkan pendapat tersebut. Jadi,
bertaqlid kepada selain madzhab yang empat boleh-boleh saja selama madzhab
tersebut jelas imamnya dan suumber referensinya.
No comments:
Post a Comment