Thursday 29 October 2015

Madzhab



Tugas Ushul Fiqh - III
Mazhab

Ditulis oleh
Nama                          : Saiful Maulana
Semester / Unit          : V / 2
Dosen Pengampu      : Sitti Suryani Lc, MA.



Fakultas Syari'ah Jurusan Muamalah
Institut Agama Islam Negeri
Zawiyah Cot Kala Langsa
2015


1.      Pengertian Madzhab
Secara bahasa, madzhab berasal dari kata :
ذَهَبَ – يَذْهَبُ – ذَهَابًا – ذُهُوْبًا – مَذْهَبًا
yang artinya “jalan atau tempat yang dilalui”. Juga dapat berarti “pendirian”.[1]

Dalam istilah fikih madzhab meliputi dua pengertian :
·         Jalan / metode yang digunakan seorang mujtahid dalam menetapkan hukum suatu perkara.
·         Pendapat / fatwa seorang mujtahid / mufti tentang hukum suatu perkara.
Dengan demikian, pengertian “bermadzhab” adalah “mengikuti hasil ijtihad sorang imam tentang hukum suatu masalah atau tentang kaidah-kaidah istinbathnya.”[2]
Selain empat madzhab fikih yang terkenal, ada banyak madzhab fikih lain dalam dunia Islam, diantaranya : Madzhab Az-Zahiri, Madzhab Al-Auza’iy, Madzhab Ats-Tsauri, Madzhab Zaidiyah, dan masih banyak lagi.


2.      Keharusan Mengikuti Suatu Madzhab Tertentu
Allah berfirman,
(#þqè=t«ó¡sù.... Ÿ@÷dr& ̍ò2Ïe%!$# bÎ) óOçFZä. Ÿw šcqßJn=÷ès? ÇÐÈ  
Artinya : ... Maka Tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.(QS. Al-Anbiya’: 7)

Dalam ayat tersebut Allah menyatakan, bahwa orang-orang yang tidak memiliki ilmu yang dalam tentang suatu hal, maka haruslah bertanya pada orang yang lebih mengerti. Ayat ini menjadi dasar, bahwa seseorang yang tidak mampu untuk berijtihad tentang hukum Islam, maka wajiblah ia bertanya pada orang yang mampu.
Berdasarkan pendapat para ulama, seorang dikatakan mampu berijtihad jika ia memenuhi kriteria-kriteria seperti, hafal Alquran, ribuan hadits, menguasai ilmu Alquran dan hadits, tata bahasa Arab, ke-tsiqqah-an para perawi hadits dan masih banyak lagi. Dewasa ini, orang yang menguasai ilmu-ilmu tersebut secara sempurna, sulit ditemukan, bahkan mustahil. Oleh sebab itulah, setiap muslim di zaman sekarang haruslah bermadzhab, baik mengikuti metode ijtihad maupun hasil ijtihad, tergantung kemampuan orang itu.
Bahkan para ahli hadits yang menguasai ribuan hadits seperti, Imam Bukhari, Muslim, Tirmidzi dan lain-lain, juga bermadzhab kepada imam-imam madzhab yang hidup lebih dahulu dari mereka seperti Syafi’i atau Hanafi. Hal itu disebabkan karena mereka hanya menghafal hadits-hadits itu, namun mereka tidak yakin mengetahui inti dari hadits-hadits itu. Mereka menganggap bahwa para imam madzhab yang hidup lebih dekat dengan masa Rasul dan sahabat, lebih mengetahui kandungan hukum yang terkandung dalam nash, sehingga mereka memilih untuk bermadzhab.
Jadi jika di zaman sekarang ini ada orang yang terlalu sombong untuk bermadzhab dengan alasan bahwa mereka adalah orang-orang yang mengikuti sunnah Rasul, mereka itu adalah salah besar. Mereka mengambil hadits-hadits Rasul SAW dan mengambil hukum dari hadits tersebut dengan hanya berbekal ilmu mereka yang jauh dari kata layak untuk beristinbath.
Oleh karena kita adalah orang-orang yang tidak mengetahui, maka haruslah bagi kita untuk bermadzhab. Namun mengenai keharusan bagi seseorang untuk mengikuti satu madzhab saja secara konsisten pada semua perkara hukum, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama ushul[3] :
Wajib mengikuti satu madzhab secara konsisten. Sebagian ulama mengatakan bahwa wajib mengikuti satu madzhab yang diyakini benar secara konsisten pada semua permasalahan dan tidak boleh berpindah madzhab. Hal ini karena orang yang telah memilih suatu madzhab tertentu berarti telah yakin bahwa madzhab itu adalah madzhab yang benar, maka ia wajib melaksanakan keyakinannya itu.
Tidak wajib mengikuti satu madzhab secara konsisten. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa tidak wajib mengikuti satu madzhab tertentu secara konsisten. Orang tersebut boleh bertaklid pada imam mujtahid manapun yang ia kehendaki dan boleh berpindah madzhab. Alasannya adalah sesuatu dihukumi wajib bila Allah dan Rasul-Nya sendiri yang memberi perintah wajib. Sedangkan Allah dan Rasul SAW tidak pernah mewajibkan seseorang bermadzhab dengan satu imam yang ada. Yang diwajibkan oleh Allah adalah mengikuti ulama secara umum, sebagaimana yang disebutkan dalam QS. Al-Anbbiya’: 7 yang artinya : “... maka tanyakanlah kepada orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui.”
Alasan lainnya adalah pada zaman sahabat dan tabi’in, tidak ada yang mewajibkan dirinya untuk mengikuti madzhab tertentu saja, melainkan mereka akan menanyakan kepada siapa pun yang ahli tanpa membatasi diri kepada salah satu dari mereka. Selain itu, pendapat yang mengatakan bahwa wajib mengikuti salah satu madzhab saja, akan menyebabkan kesulitan dan kesempitan. Padahal, keberadaan madzhab yang beragam sebenarnya adalah anugrah dan juga rahmat bagi umat Islam.
Secara lebih detail, Imam al-Amid dan Imam al-Kamal ibnul Hammam mejelaskan bahwa, yang diwajibkan adalah mengikuti aturan satu madzhab tertentu dalam satu perkara. Ketika dia mengamalkan satu madzhab dalam suatu perkara, maka ia tidak boleh secara bersamaan juga bertaklid pada madzhab yang lain. Akan tetapi ketika dia menghadapi perkara yang lain yang tidak bersangkut paut dengan perkara yang pertama tadi, maka ia boleh mengikuti mazhab yang lain.
Dan pendapat yang rajih dalam permasalahan ini adalah tidak diwajibkannya mengikuti satu madzhab secara konsisten.

3.      Bolehkah Menyalahi Imam Madzhab dalam Suatu Perkara
Jika yang dimaksud dengan menyalahi disini adalah menyatakan bahwa pendapat seorang imam adalah salah, maka hal itu tidak dibenarkan. Sebab, murid secerdas Imam Syafi’i pun tidak berani menyalahkan hasil ijtihad gurunya yaitu Imam Maliki, walaupun sebenarnya hasil ijtihad yang ia dapati dengan metodenya sendiri berbeda dengan hasil ijtihad gurunya. Hal itu disebabkan karena, masing-masing mujtahid memiliki metodenya sendiri dalam berijtihad, dan setiap hasil ijtihad yang mereka kemukakan tidak pernah bertentangan dengan Alquran dan Sunnah dalam masalah hukum-hukum pokoknya.
Jika yang dimaksud dengan menyalahi disini adalah tidak sependapat dengan hasil ijtihad seorang imam, dan kemudian mengambil pendapat imam madzhab lain dalam suatu perkara, maka hal ini dibolehkan. Bahkan meskipun seseorang yang telah bertaqlid pada madzhab tertentu, ia tetap boleh mengambil pendapat madzhab lain dalam suatu perkara. Seperti yang dikatakan sebelumnya, bahwa tidak ada dalil yang mengatakan bahwa wajib mengikuti satu madzhab secara konsisten dalam setiap perkara, maka berbeda pendapat dengan imam madzhab dalam suatu perkara adalah boleh. Namun, mengambil pendapat lain ini haruslah disertai dengan sikap ittiba’, karena tidak mungkin seseorang dapat menyalahi imam madzhabnya tanpa mengetahui dan mempelajari terlebih dahulu metode dan dalil yang digunakan imam tersebut dalam berijtihad tentang perkara tersebut. Memadukan dua pendapat imam (talfiq), juga harus memenuhi syarat-syarat seperti tidak menjadikan yang haram menjadi halal dan sebaliknya.

4.      Bertaqlid pada Selain Empat Madzhab
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa dalam khazanah keilmuan fiqih Islam, ada banyak Imam Madzhab yang berijtihad menurut pendapatnya masing-masing. Empat madzhab fiqih yang termasyur yaitu Syafiiyyah, Malikiyyah, Hanafiyah, dan Hanabilah. Empat madzhab ini adalah empat madzhab yang memiliki pengikut yang terbanyak dalam dunia Islam.
Selain empat madzhab tersebut, ada banyak madzhab lain seperti Zahiriyyah, Auzaiyyah, Ibadhiyyah dan lain-lain. Akan tetapi, dalam perkembangannya madzhab-madzhab tersebut tidak memiliki pengikut yang banyak, sehingga pendapat-pendapat yang mereka kemukakan tidak terjaga sampai sekarang. Buku-buku yang mereka tulis juga tidak ditemukan lagi. Dengan demikian metode-metode mereka dalam berijtihad tidak diketahui dengan jelas. Lingkup fiqih yang mereka ijtihadkan pun tidak selengkap dan sedetail madzhab yang  empat.
Hal tersebut berbeda dengan keadaan madzhab yang empat. Biografi imam-imamnya secara jelas tetap diketahui sampai sekarang. Ruang lingkup ilmu fiqih yang mereka jejali juga detail dan komprehensif dalam semua permasalahan. Buku-buku yang mereka tulis juga masih terjaga dengan utuh, seperti Kitab al-Umm dan ar-Risalah Imam Syafi’i dan al-Muwatha’ imam Maliki.
Berhubung dengan sub-judul sebelumnya., bahwa umat muslim boleh mengambil pendapat manapun yang dianggap benar, karena tidak ada dalil yang mengharuskan muslim untuk bertaqlid kepada madzhab yang empat saja. Mengenai ini ada persyaratan yang harus diperhatikan. Mencari pendapat yang benar itu haruslah mengetahui dengan jelas siapa yang mengeluarkan pendapat tersebut. Jadi, bertaqlid kepada selain madzhab yang empat boleh-boleh saja selama madzhab tersebut jelas imamnya dan suumber referensinya.


[1] M. Ali Hasan, Perbandingan Madzhab, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998).
[2] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, t.th)
[3] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adlillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2010). Jilid 1. Halaman 81.

No comments:

Post a Comment